1- So I Can Be Free

32K 4.2K 65
                                    

Bagaimana rasanya kembali ke titik nol setelah semua pencapaianmu selama ini? Bagaimana rasanya meninggalkan semua harapan yang sudah sekian lama dinantikan? Bagaimana rasanya didera kekecewaan mendalam yang membuatmu ingin berlari dan berharap bumi terbelah dan menelanmu saat itu juga?

Hari ini, di hari ulang tahunnya yang keduapuluh delapan, dengan mantap Arum memasuki kantor atasannya, menghadap kepada akuntan yang sudah tiga tahun menjadi kepala divisi di mana dia bekerja.

"Jadi kamu beneran nih?" tanya Fares serius. Laki-laki itu membaca surat pengunduran diri Arum dengan ekspresi tak percaya.

Arum mengangguk pasti. "Iya," jawabnya singkat. Arum tak ingin Fares mendengar suaranya yang bergetar karena saat ini degub jantungnya pun sangat liar.

"Rum, kamu ini sudah kehilangan akal sehat atau gimana sih? Masa hanya gara-gara pertengkaran semalam kamu mau mundur? Yang benar aja! Emang kamu mau kerja di mana lagi? Mana ada perusahaan yang mau gaji kamu setinggi di sini? Kamu mau buang semuanya hanya gara-gara masalah sepele semalam? Bodoh kamu!" cerocos Fares dengan suara mendesis. Sepertinya sisa kemarahan semalam belum sepenuhnya pudar.

"Maafkan aku. Tapi keputusanku sudah bulat," Arum menjawab pelan. Bahkan dari tahun lalu, tambah Arum dalam hati. Hanya saja aku terlalu pengecut dan terlalu penakut untuk menentukan sikap.

"Bahkan meskipun keputusanmu sudah bulat, kamu tetap tidak bisa mendadak berhenti seperti ini. Kamu harus menyampaikan pemberitahuan ini minimal seminggu sebelum kamu keluar. Itupun dengan catatan kamu juga tidak akan mendapatkan pesangon sepeser pun!" suara Fares dipenuh emosi. "Sudah kuduga, kamu memang segoblok ini. Perempuan tak berotak!"

Arum memejamkan mata dan menghirup napas sedalam-dalamnya. Untuk yang terakhir kali saja ya Tuhan, kuatkan aku! Doanya dalam hati menguatkan diri. "Aku sudah melapor kepada divisi personalia. Jadi alasanku untuk mundur sangat masuk akal. Aku bisa berhenti kerja mulai besok," katanya dengan menjaga suaranya tetap datar tanpa menampakkan emosinya yang kacau. "Perkara pemberitahuan minimal seminggu sebelumnya, sebenarnya secara resmi aku memang berhenti minggu depan. Tetapi aku masih memiliki sisa cuti selama lima hari yang rencananya akan aku ambil sebelum pergi."

Fares memandangnya dengan kemarahan berkobar-kobar yang sudah sangat dikenal oleh Arum. Selama dua tahun hubungan mereka, pria ini selalu mengintimidasinya dengan pekerjaan sebagai alasan. Pria itu sangat mengenal Arum, seorang workaholic yang menganggap hidupnya adalah pekerjaan dan karir adalah segalanya. Titik kelemahan Arum yang bisa dimanipulasinya dengan baik.

"Kamu mengancam aku, ya?" mata Fares memelotot garang. "Kamu pikir kamu nggak butuh aku lagi? Siapa yang akan menuliskan surat rekomendasi bagus buatmu kalau bukan aku, ha?" kemarahan Fares meningkat tajam. Arum hanya berharap teman-teman kerjanya di luar tidak mendengarnya. "Kamu pikir aku tidak bisa membalasmu? Kalau aku mau, aku bisa memastikan kamu tidak akan pernah bisa diterima kerja di manapun!"

Akhir kalimat Fares berhenti tepat ketika pintu ruangan terbuka. Hanya beberapa gelintir orang yang berani dan bisa memasuki kantor Fares tanpa mengetuk pintu terlebih dulu. Dan Bu Aryanti, direktur keuangan, adalah salah satunya. Arum menoleh melihat perempuan berusia pertengahan empat puluh itu yang sedang memandangnya dengan tajam, tidak menutupi ketidaksukaannya akan kehadiran Arum di ruangan ini.

"Apa-apaan ini?" tanya Bu Aryanti sebal.

Arum, dan hampir semua pegawai di kantor ini sangat mengenal Bu Aryanti. Bukan lagi menjadi rahasian kalau salah satu hal yang paling beliau benci adalah pegawai perempuan. Wanita ini selalu membuat para karyawati hidup bagai dalam neraka. Bu Aryanti jenis orang yang tidak tahan berada dalam satu ruangan dengan perempuan lain. Wanita ini akan mengeluarkan segala cara hanya untuk membuat wanita lain pergi dari hadapannya. Desas-desus kantor menyebutkan bahwa suami Bu Aryanti dulu berselingkuh dengan salah seorang karyawati, yang membuat Bu Aryanti marah besar. Meskipun sekarang sudah bercerai dan mantan suaminya sudah tidak lagi bekerja di sini, Bu Aryanti ternyata belum bisa move on, dan phobi terhadap karyawati.

Namun pagi ini, Arum menganggap kehadiran atasa Fares ini sebagai berkah tak terduga. Bu Aryanti tidak menyukainya, itu jelas. Dan Arum berharap Bu Aryanti akan melakukan berbagai cara agar Arum segera keluar dari ruangan ini. Di hadapan Bu Aryanti, Fares tidak akan berani macam-macam.

"Saya mau mengundurkan diri, Bu," jawab Arum berusaha tetap terlihat tenang.

"Terus apa masalahnya?" tanya Bu Aryanti tak peduli. Seolah perkara pegawai yang mundur hanyalah masalah sepele. "Kalau sudah mau mengundurkan diri, nggak masalah kan? Personalian bisa langsung cari pengganti."

Arum menundukkan wajah. "Iya, Bu," jawabnya singkat. Meski dalam hati berteriak "Hore!"

"Ya udah kalau gitu! Tunggu apa lagi? Kamu nggak siap-siap beberes mejamu, kalau emang mau resign?" Bu Aryanti memelotot judes. "Penggantimu bisa datang bahkan sebelum kamu meninggalkan kantor ini. Sekarang cari kerja susah. Orang akan berebut cari peluang."

"Iya, Bu, saya paham," Arum membungkukkan kepala dan seperti terbirit-birit, segera keluar dari ruangan. Dalam hati dia mengingatkan dirinya untuk segera mematikan HP setelah ini. Karena dengan lirikan sekilas kepada Fares, Arum yakin pria itu tidak akan membiarkan dirinya lolos begitu saja tanpa menerima, paling tidak, caci-maki dan sumpah-serapah dari Fares.

***

Patissier & Chocolatier (TAMAT)Where stories live. Discover now