8 - Salty But Sweet

21.3K 3.8K 35
                                    

Kesadaran akan rasa ketertarikan pada Yusra membuat mood Arum jatuh tiba-tiba. Di satu sisi Arum ingin menghindari cowok itu. Karena dia tidak ingin pengalaman buruk bersama Fares terulang lagi. Bukannya Arum menyejajarkan Fares dengan Yusra. Jauh banget. Keduanya bagai langit dan bumi. Arum hanya menilainya dari kasus yang sama. Pengalaman bersama Fares telah mengajarkan agar dirinya tidak sembarangan menjalin hubungan dengan pria yang masih menjadi atasannya ataupun rekan kerjanya, bila dia tidak ingin jadi pengangguran lagi. Risikonya teramat besar. Bila hubungan tidak berhasil, suasana dijamin akan kikuk sekali. Dan kemungkinan terbesar adalah Arum sebagai perempuanlah yang akhirnya harus mundur.

Arum tidak menyalahkan dirinya sendiri kalau sampai jatuh hati kepada Yusra. Setelah apa yang terjadi pada hubungan sebelumnya, dan setelah merasakan bagaimana punya partner brengsek seperti Fares, siapa sih yang tidak meleleh dengan pesona Yusra? Selama bertahun-tahun mengenal Yusra, Arum tidak pernah tertarik dengannya. Karena memang Arum memandang Yusra dalam kapasitas yang berbeda. Namun pengalaman buruk dalam berpacaran dengan Fares membuat pandangan Arum berubah. Arum tidak lagi silau dengan cowok-cowok perlente, yang penampilannya dari ujung rambut hingga ujung kaki adalah hasil usaha luar biasa yang melibatkan browsing ke laman-laman fashion khusus pria, hingga kewajiban rutin untuk selalu mengecek perkembangan terkini tentang busana pria hanya agar selalu tampil terkini. Itulah yang dilakukan Fares hingga penampilannya selalu tak tercela.

Sekarang Arum memiliki perspektif yang berbeda bagaimana pria yang menjadi pujaannya. Tidak penting apakah pria itu memakai sepatu Bally. Sepatu sneakers seperti yang selalu dipakai Yusra oke banget kok. Bahkan meskipun Yusra kadang memakainya dengan cara yang ngawur, seperti menginjak bagian tumit sepatu dan tidak pernah memakai kaus kaki. Seorang pria juga tidak harus selalu memakai setelan berbahan bagus yang untuk mencucinya memerlukan jasa laundry khusus. Yusra tetap keren meskipun hanya memakai tshirt dan celana jeans, atau celana kargo. Dan Arum yakin, Yusra tidak pernah repot-repot cari laundry khusus. Pria itu cukup mengandalkan mesin cuci di rumahnya ditambah sentuhan ajaib pembantu setianya yang selalu menyetrika pakaian Yusra, lengkap dengan pewangi yang baunya umum dengan merk sejuta umat seperti yang ditayangkan di televisi.

Satu hal lagi yang paling utama, ketika bersama Yusra, atau ketika Yusra mengajaknya, maka saat itu Arum merasa sangat dihargai. Yusra bukan jenis orang yang akan meninggalkan Arum begitu saja di tengah acara hanya karena sebuah telepon penting. Dan Arum yakin Yusra juga bukan tipe pria yang akan membiarkannya menunggu lama tanpa kepastian apabila mereka telah punya janji. Atau bukan tipe pria yang membiarkan Arum kerepotan memesan taksi online di tengah hujan deras, dan jalanan macet, akibat terlalu malas mengantarkan karena sayang kalau sampai mobilnya terkena apa-apa di tengah cuaca buruk.

Arum tahu karena Yusra setiap pagi selalu menjemputnya untuk berangakt bersama ke tempat kerja. Menjadikannya istimewa karena Yusra hanya mau meminum kopi yang dibuatkan oleh Arum. Selalu memastikan Arum telah mendapatkan taksi yang aman bila harus pulang sendirian, dengan selalu mengantarnya keluar toko, hingga Arum telah duduk dengan nyaman di taksi yang dia pesan. Yusra juga tidak pernah membatalkan janji secara sepihak tanpa alasan. Kalaupun terpaksa harus dibatalkan, dia akan mengatakan dengan sopan alasannya, dan berjanji menggantinya di lain waktu.

Yusra memang bukan apa-apanya. Bahkan pria itu tidak pernah memberi pernyataan apapun. Mereka menjalaninya secara alami. Kedekatan yang terbangun pelan-pelan berdasarkan rasa saling menghargai. Namun semuanya terlalu indah. Bahkan bagi Arum. Hingga Arum takut bila semua ini hanya mimpi. Bagaimana bila Yusra ternyata memang hanya sekedar baik? Bagaimana bila Yusra ternyata sudah memiliki kekasih? Bagaimana bila Yusra hanya kasihan kepadanya? Dan bila semua ini berlalu, sanggupkah Arum menghadapinya?

Seberapapun usaha Arum untuk mengingatkan diri agar tidak jatuh di lubang yang sama hingga dua kali, namun Arum sering tidak bisa menahan diri dari perasaan ini. Hanya dengan mendengar suara Yusra saja sudah membuat dadanya terasa penuh dan hangat. Senyuman Yusra yang tanpa sengaja dilihatnya cukup membuat Arum tersipu. Dan bila pria itu tahu-tahu muncul di ambang pintu ruangannya, Arum harus menahan nafas sejenak untuk mengatur detak jantungnya, agar suaranya yang bergetar tidak terdengar oleh Yusra. Namun seiring hari yang berlalu, Arum kian nelangsa sendiri. Rasanya tersiksa sekali ketika berada di dalam mobil berdua bersama pria itu, mendengar pria itu bercakap riang, namun dirinya sudah tidak sanggup lagi menanggapi dengan ringan seperti dulu.

Karena Arum sudah berubah. Karena perasaannya juga sudah berubah. Dan seluruh panca inderanya juga sudah pula berubah, menjadi sepuluh kali lebih peka dari sebelumnya. Kalau tidak, bagaimana mungkin Arum bisa mencium aroma butter dan vanilla dari tubuh Yusra, pada saat mereka berkendara di malam hari setelah toko tutup? Ini kerangat harusnya asam dan bau, karena mereka beraktifitas hampir sepanjang hari. Dan juga kenapa wajah Yusra yang berkeringat, lelah, dengan rambutnya yang lepek dan berminyak begitu tampak seksi dan menggoda? Hingga Arum harus menahan diri agar tidak tergerak untuk mengelusnya. Ini Yusra, Demi Tuhan! Yang wajahnya tidak pernah terkena sentuhan salon, dengan komedo bersarang di mana-mana! Yang tangannya kapalan karena harus sering menguleni adonan, karena kadang untuk menemukan tekstur kalis elastis yang cocok itu tidak bisa hanya mengandalkan mikser, apalagi kalau masih tahap eksperimen. Yusra yang penciumannya setajam lidahnya, yang bisa menyebutkan bahan penyusun makanan hanya dari mencium dan mencicip.

"Kamu sekarang pendiem banget Rum?" tanya Yusra tiba-tiba, ketika mobil berhenti di lampu merah.

Malam ini jalanan memang sepi, karena bukan akhir minggu. Namun bagi Yusra, ramai atau sepi, peraturan tetap peraturan. Lampu merah tetap harus berhenti.

Arum melirik lengan-lengan kokoh yang sedang bertumpu di atas kemudi. Bersama Yusra, Arum tak perlu khawatir. Karena Yusra adalah pengemudi yang tenang dan penuh perhitungan. Bisa membawa mobilnya berjalan mulus melewati jalan-jalan berlubang ketika harus mencari alternatif ke perkampungan demi menghindari kemacetan. Yusra juga tidak pernah mengumpat pengemudi motor yang tiba-tiba nyelonong. Paling Cuma nyengir sambil berkomentar, "Duh, anak muda! Nggak kenal takut seolah nyawanya rangkap lima."

"Rum?" Yusra memanggil lagi.

Arum menggeleng. "Emang kenapa kalau aku jadi lebih pendiam? Kan enak, nggak berisik," jawab Arum berusaha kalem.

"Kalau pendiemnya karena suka rela sih nggak apa-apa," kata Yusra.

"Idih, pendiem suka rela? Emang ada pendiem paksaan?" bantah Arum tiba-tiba tertawa. "Ada-ada aja."

Yusra tersenyum. "Nah, gitu dong. Kan kalau kamu tertawa, jadi manis."

"Kalau aku diem, asem gitu?" tanya Arum yang entah kenapa kadar sensinya langsung naik seratus poin.

"Tetep manis kok. Cuman berkurang kadar manisnya. Atau manisnya nggak ori. Manisnya kayak aspartame, sintetis," sok iyes banget Yusra bicara

"Jangan kebanyakan manis, ntar diabetes," Arum menimpali.

"Aku merujuk pada manisnya whipped cream deh. Manisnya pas, gurihnya juga pas," Yusra menyebut salah satu bahan baku wajib yang ada di gudang toko.

"Emang kita sedang ngobrolin apaan sih ini?" tanya Arum sambil mengerutkan kening, pura-pura bego.

"Ngobrolin bahan kue," jawab Yusra lempeng.

Baik Yusra maupun Arum pun ngakak bersama.

Ah, andai saja Yusra memang benar menganggapnya istimewa. Seandainya Arum tidak sekedar gede rasa.

���T

Patissier & Chocolatier (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang