4 - It's On

22.9K 4.4K 94
                                    

Tempat baru, pekerjaan baru. Bahkan dalam mimpi pun Arum tidak pernah menyangka dirinya akan mencapai tahap seperti ini. Menikmati kerja bergaji rendah, tanpa prospek kenaikan jabatan, hanya bertemu orang-orang yang itu-itu saja, bahkan tanpa ada peluang mengembangkan diri. Tidak ada lagi pelatihan yang harus diikuti. Juga tidak ada persaingan untuk dihadapi.

Stagnan. Itu kata yang tepat untuk mendeskripsikan hari-harinya. Arum akan berangkat ke ruko di pagi hari. Meskipun secara resmi toko roti itu akan buka pukul tujuh pagi, saat menu sarapan andalan Yusra disajikan, namun Arum memiliki jadwal kerja resmi yang dimulai pukul sembilan pagi. Ketika karyawan lain yang bekerja dalam dua shift mengakhiri aktifitas toko pada pukul sepuluh malam, Arum berada di luar jadwal itu. Karena jam kerja resmi Arum berakhir pada pukul lima sore.

Masalahnya adalah, meskipun sekilas pekerjaan Arum ini terlihat menyedihkan, namun kenapa Arum menyukainya? Sangat menyukainya malah. Hingga Arum tidak pernah keberatan berangkat pukul setengah tujuh pagi setiap hari. Semula sih alasan utamanya adalah sekalian ajalah berangkat pagi bareng Yusra. Tapi lama-lama menjadi kebiasaan yang sangat menyenangkan. Mungkin karena masakan Yusra sangat enak dan cowok itu tidak pelit untuk membiarkan karyawannya ikut mencicipi. Atau karena Yusra satu-satunya teman yang dimilikinya, dan karyawan di mana dia bekerja adalah satu-satunya tempat dia bisa bergaul.

Arum tidak bisa membohongi diri kalau sebenarnya dia pesimis dengan usaha yang dirintis Yusra. Karena keterbatasan pengalaman dan pergaulan, Arum berpikir kalau menu sarapan pagi yang disajikan akan kurang menarik bagi konsumen. Sarapan pagi mah di rumah, atau di kedai-kedai yang menjual makanan khas macam bubur atau lontong sayur. Okelah, budaya makan roti memang sudah mulai banyak dilakukan oleh orang-orang lokal. Tetapi tetap saja, menjadikannya sebagai bisnis pemula yang bahkan belum punya nama, sepertinya sebuah ambisi yang terlalu optimis.

Tetapi keragu-raguan Arum pudar ketika melihat meja-meja yang tertata di dalam toko terisi hampir tiga per empat setiap harinya. Dan selalu penuh di akhir minggu. Roti gandum berserat tinggi yang baunya harum sejak dikeluarkan dari oven adalah produk yang paling banyak diminati. Dengan secangkir kopi, coklat, atau teh yang mengepul dari cangkir-cangkir bermodel klasik berwarna putih yang ikut menemani. Tak jarang Yusra menambah menu kejutan dengan makanan-makan fresh yang dia siapkan sendiri seperti sup krim jamur atau sandwich dengan variasi isian yang menggoda selera. Kehadiran pria itu di tengah-tengah pembeli, untuk berbincang ramah menanyakan opini mereka tentang apa yang dihidangkan, serta harapan-harapan mereka untuk menu dan performance apa yang mereka inginkan, benar-benar merupakan momen berharga yang membuat Arum pelan-pelan mengenal kepribadian bos barunya itu.

"Aku oke kan?" begitu kata Yusra pada Arum yang sedang mengamatinya dengan pandangan tertarik dari ambang pintu penghubung ruang display dan ruang perlengkapan. "Aku tahu kok kalau kamu masih ragu," sambung Yusra sambil nyengir lebar.

"Apaan sih," balas Arum sedikit salah tingkah. "Tapi aku akui, pemilihan lokasi ini oke banget. Dekat dengan perkantoran, ada sekolah internasional, dekat mall dan super market berkelas, pokoknya keren dah. Nggak nyangka aja Mas Yusra kepikiran buat investasi di sini."

"Aku sampe memutuskan nggak beli rumah hanya karena kepingin punya bisnis kayak gini dari dulu," kata Yusra enteng.

Kalau dipikir, ngapain juga Yusra beli rumah. Dia anak tunggal. Ayahnya sudah meninggal dua tahun yang lalu. "Rumah segede itu, cuma ditinggali sama Mas Yusra dan ibu mah masih longgar, nggak perlu beli rumah lagi. Bahkan kalau Mas Yusra menikah dan punya lima anak juga rumahnya masih cukup," komentar Arum tanpa dipikir.

"Kamu pengen anak lima, Rum?" Yusra balas bertanya dengan mimik iseng.

Membuat Arum seketika merona. Sialan. Senjata makan tuan nih! "Anak mah mau berapa aja gampang. Yang penting punya lawan dulu," kepalang tanggung, Arum membalas dengan nekat meskipun topik beginian selalu sensitif untuk dibicarakan di antara para jomblo. Ada yang kege-eran dan menganggapnya sebagai kode, meskipun pada awalnya memang hanya murni gurauan, bukan maksud apa-apa. Bahkan tak jarang membuat pertemanan menjadi renggang karena salah satu merasa dimodusi. Susahnya menjadi lajang di usia menjelang tiga puluh!

Patissier & Chocolatier (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang