3 - Turn The Page

23.1K 4.3K 35
                                    

Arum duduk di salah satu meja yang ada di dalam gerai milik Yusra. Arum tidak bisa mengatakan dengan pasti apa nama tempat seperti ini. Restoran khusus roti? Toko roti? Bakery? Tapi tidak ada tulisan bakery sama sekali. Yang ada justru tulisan Yu's Patissier & Chocolatier, yang terasa susah dibaca dan memenuhi mulutnya. Untungnya ada inisial YPC dalam huruf besar dekoratif di bagian bawahnya. Membuatnya lebih mudah diucapkan. Juga diingat. Jadi ini toko roti YPC!

Arum menangkap kesan praktis dan bersih dari toko roti ini. Desain eksterior dan interiornya didominasi warna krem dan putih. Terlihat dua orang karyawan di bagian depan, terdiri dari pria-pria muda memakai apron berbahan kulit. Mereka yang mempersilakan Arum masuk dan menanyakan dengan ramah keperluannya. Setelah Arum menyebutkan namanya dan maksud kedatangannya, salah seorang pelayan mengantarnya untuk duduk di salah satu meja yang berbentuk persegi klasik dan berwarna putih. Bergabung dengan beberapa pembeli yang sepagi itu sudah terlihat mengisi beberapa meja yang ada.

Arum bukan ahli kuliner, tidak terlalu addict dengan tempat-tempat makan kekinian yang banyak tersebar di semua penjuru kota. Bahkan dia tidak bisa membedakan apa itu kafe dan apa itu bistro. Terlalu tidak peduli dengan apa yang membedakan satu tempat disebut restoran dan satunya disebut rumah makan, dan sekilas berpikir mungkin hanya karena beda bahasa. Arum jarang sekali mengunjungi tempat-tempat seperti itu. Kehidupan sosialnya bisa dikatakan minus, apalagi sejak dia berpacaran dengan Fares. Kadang Arum berpikir, karena pribadinya yang begini, makanya dia mendapat pria semacam Fares. Dan Arum sampai pada satu kesimpulan, bila dia mau melepas Fares, maka dialah yang harus berubah lebih dulu. Perubahan yang sangat ekstrim tentunya. Melibatkan pengunduran diri dan menyandang predikat pengangguran adalah salah satunya.

Arum mengamati ruangan dengan seksama. Dengan desain lampu-lampu berbentuk persegi yang simple, meminimalisir lekukan, membuatnya terasa lapang dan terang. Suasananya, di luar dugaan, terasa hangat dan nyaman. Juga bersahabat. Mengingatkan Arum pada sosok Yusra yang dikenalnya. Dalam hati Arum berterima kasih pada kepekaan ibunya untuk mendorongnya ke tempat ini meskipun kejadiannya sedikit membuatnya terkesan tidak tahu malu.

Setelah melihat aneka kue yang tersaji di balik etalase kaca, Arum menyimpulkan kalau, sesuai namanya, hidangan yang disajikan adalah serba coklat. Dan Arum baru saja membuka HP untuk browsing pengertian patissier ketika namanya dipanggil.

"Halo, Arum," suara Yusra masih seperti yang dia kenal tahun lalu, ketika mereka terpaksa duduk bersebelahan di ruang tunggu bandara selama hampir satu jam. Yang memaksa mereka akhirnya berbincang-bincang.

"Hai, Mas!" Arum membalas sapaan Yusra dengan senyum lebar.

Yusra meletakkan secangkir coklat, sambil berkata, "Aku nggak tahu apa minuman favoritmu. Teh atau kopi. Tetapi biasanya para wanita menyukai coklat. Jadi kupikir kamu akan menyukai salah satu menu beverage di tempat ini," katanya sambil tersenyum manis.

Setelah cukup lama dekat dengan Fares yang selalu serius, tegang, dan jutek, menghadapi Yusra dengan senyum manis khas pramugara membuat Arum terasa overload. Kemanisan!

"Hm... coklat lumayan suka," kata Arum. "Tapi kapan-kapan kalau mau kasih minum aku, kopi aja deh. Aku nggak takut item karena kebanyakan ngopi kok."

Yusra tertawa mendengar candaan Arum. "Kapan-kapan kalau kamu mau kopi, order sendiri aja. Toh kamu mau kerja di sini," balas Yusra yakin.

"Hei! Kok bisa seyakin itu?" tanya Arum sambil tertawa. "Aku tuh nggak paham kalau kerja di sini mau ngapain."

"Ya sesuai dengan keahlian kamu lah! Ngitungin duit! Emang kamu mau kerja apa? Bantu cuci piring gelas?" Yusra bertanya dengan muka lucu.

Ish! Ini orang masih suka becanda juga ternyata. Satu hal yang Arum ingat dari pertemanannya yang sebentar dan jarang kontak dengan Yusra adalah, Yusra memang humoris. Tapi juga sering sok tua banget kalau lagi menasihati.

"Kan udah ada kasir?" Arum menunjuk kepada seorang pemuda di balik etalase.

"Kasir yang itu cuma bisa terima duit, Rum. Bukan jenis yang bisa memprediksi laba rugi, menetapkan target, dan mengatur agar anggaran nggak kedodoran. Ngerti kan maksudku?" tanya Yusra.

"Paham sih. Cuma masih belum punya gambaran aja aku ntar kerjanya kayak apa," balas Arum. "Eh, serius nih kita ngobrolin kerjaan di sini? Nggak ada tempat yang lebih privat?"

Yusra tertawa. "Ada. Di dapur."

Arum memelototkan mata dengan galak. Yang dibalas Yusra dengan tawa yang semakin lebar. "Yuk ah, ke ruanganku," kata pria itu sambil menarik lengannya.

Arum hanya perlu berdiskusi selama satu jam untuk menentukan jawaban pastinya. Mendengar cara Yusra berbicara, mencium aroma harum yang mendominasi tempat yang tak terlalu luas ini, juga berada dalam ruangan yang hangat dengan suara kesibukan yang menentramkan, membuat keraguan Arum luntur seketika. Bahkan rasanya Arum rela digaji separuh dari gaji pokoknya yang dulu, untuk bekerja di tempat ini.

Ketika Yusra menyebutkan angka untuk gajinya, Arum menggeleng. Dia tahu bahwa bisnis ini baru berjalan. Jadi dia memilih cara aman dalam tawar menawar masalah gaji.

"Kita lihat saja nanti dari proporsi antara penjualan dan biaya-biaya yang diperlukan," kata Arum. "Kalau emang aku ntar yang bakal ngurusin semua itu, aku akan tahu pasti bagaimana kondisi bisnis ini. Dari situ baru aku bisa menentukan mau dibayar berapa, sesuai dengan kondisi keuangan toko roti ini. Oke?"

Yusra tertawa masam. "Aku nggak salah nih ternyata mempekerjakan seorang akuntan."

Patissier & Chocolatier (TAMAT)Where stories live. Discover now