Part 4 : Apakah salah jika malam ini aku mengganggumu?

47 9 0
                                    

Aku merebahkan tubuhku di kasur, cukup keras seolah aku melemparkannya. Semua hal yang aku alami hari ini sedikit membuatku lelah, pikiran dan batinku tak henti-hentinya berteriak "Apa yang sebenarnya terjadi padaku...!",.

Kupandangi sudut kamar yang gelap, dengan warna kuning cerah dan gradiasi warna putih dipenuhi poster karakter anime favoritku. Meja belajar yang tak nampak karena tertutup beberapa figure dan boneka, di tengah-tengahnya ada laptop kesayangan tempat aku menyimpan ribuan episode anime dan kartun.

"AAA...," aku membekap mulutku menggunakan bantal, berusaha berteriak sekeras-kerasnya. Aku terlalu nyaman dengan kehidupanku selama ini, mungkin ini akan menjadi hari-hari terberat setelah ini.

Hingga alunan musik malam yang di isi suara jangkring dan kesunyiannya membuatku terlelap.

. . .

Bau ini?... Ah aku mengingatnya.

Bau yang sama seperti mendiang ayahku, beliau meninggal tepat waktu aku berumur 10 tahun. Aku bahagia, berada di dekapannya dan menerima sebuah boneka panda lucu mengenakan dasi kupu-kupu di lehernya.

Hari-hari yang mungkin tak bisa kunikmati lagi, dan itu kenangan terakhirku bersamanya, Sebelum dia meninggal karena kecelakaan kerja.

"Mimpi ini lagi," Aku merasakan air hangat mengalir dari kelopak mataku.

"Hai, cantik!"

Aku tersentak.

Sesuatu berada di atasku, kedua tanganku seakan di cengkeram erat. Bau yang membuatku teringat akan ayahku tercium darinya. Aku berusaha lepas dengan menendang sekuat tenaga, namun sesuatu itu tak bergerak sedikitpun hingga kakiku lemas.

Dia menggerakkan tangannya, meski begitu aku tetap tak mampu bergeming. Tangan kanan itu mendekat perlahan ke arah wajahku, menepiskan lelehan air yang membasahi pipiku.

"Kau benar-benar cantik ketika air matamu berlinang," Aku mengenal sosok ini, bau yang tercium juga. Gemerlap cahaya rembulan yang menyusup dari gorden jendela rumahku seakan membiaskan kilauan seperti butiran kaca yang indah berada di depanku, terlihat dengan jelas itu rambut seorang pria.

Menyadari aku mengenal sosok itu, akupun berteriak.

"Luis apa yang kau lakukan di kamarku?" Aku meronta, memaki orang yang membuat pergerakanku terkunci di tempat tidurku.

Sosok itu tersenyum, senyuman dari wajah pucat yang rupawan walau sedikit menyeramkan.

"Hmmm... bisa dibilang, mengucap selamat tidur untuk calon pengantinku," Wajahnya cukup dekat, aku berusaha menahan nafas agar feromon yang dia miliki tak mampu bekerja.

Tak lama setelah itu ia terdiam, senyuman di wajahnya tadi kini menghilang perlahan. Kedua matanya menatap tajam ke arahku.

Tak kusangka ternyata bola mata hitam itu menarik perhatianku, seakan sejuta bintang terpancar darinya. Apakah ini hipnotis, bukannya aku sudah tak menghirup feromonnya?, namun kenapa pandangan mata itu membuat jantungku tak henti-hentinya berdebar?.

"Cih... aku membenci cara curang seperti ini," cengkeramannya mereda, tubuhnya berubah, menjadi kepulan asap hitam lalu menjauh dari badanku.

"Aku tak ingin dicintai karena di takuti," Dia berdiri tepat di ujung kamarku, dekat jendela sambil bersandar di temboknya.

Aku tak mampu berkata-kata, seolah aku lega karena bisa lepas darinya. Aku menghirup nafas dalam-dalam tak peduli lagi dengan feromon yang diceritakan Hendra.

"Bag...bagaimana kau bisa masuk?," Setelah susah payah mengejar nafasku aku berusaha menggerakkan bibirku bertanya padanya.

"Ayolah, aku vampir... ruangan ini tak akan mampu membuatku tak bisa menembusnya," Jawabnya dingin.

Dia kembali terdiam, ia melihatku namun matanya tak setajam tadi. Seolah menceritakan kesedihan, puluhan bintang yang tadinya terlihat pun nampak redup karena tatapan itu.

"Aku tak akan menggunakan cara kotor seperti ini, ini bukan gayaku." Mendekapkan kedua lengannya, ia berkata sambil memalingkan wajahnya.

Setelah itu ia merubah kembali tubuhnya, menjadi asap kemudian dengan cepat mendekatiku. Pergerakannya sekilas namun tak terasa olehku, gumpalan-gumpalan itu menari-nari kearahku hingga berhenti tepat di depan mukaku.

Rupanya yang tampan berjarak tak lebih dari 15 centimeter dari wajahku. Tatapan mata yang kulihat tadi, berbinar kembali. Senyuman menyeramkan yang biasa dia perlihatkan kini terlihat hangat.

"Aku akan membuatmu jatuh cinta kepadaku kemudian bersedia menikahiku, pasti...!", Sambil mengangguk dia mengatakannya mantap, seolah pasti akan terjadi.

Kemudian setelah menyatakan janji itu dia bergegas keluar dari tempat tidurku, meninggalkan aku yang saat ini terpaku karena harus menahan debar jantungku serta wajahku yang teramat panas.

"Aku harus pergi sebelum monyet itu menyadari keberadaanku," Dia mengatakan hal itu sambil membuka jendela kamarku.

Tubuhnya yang gagah berubah kembali menjadi kepulan asap dan menghilang di gelapnya malam. Sekali lagi aku tak bisa bergerak, hawa dingin merasuk perlahan dari jendela yang terbuka, membuatku makin membeku terduduk di kamar tidurku.

. . .

Pagi itu kedua kelopak mataku hampir sama seperti boneka panda kesayanganku, aaah... aku tak bisa tidur semalaman. Teringat saat rambut indah itu dan bola mata yang membuatku terlena.

"Yo!" sapa Hendra sambil menepuk pundakku.

Aku hanya mengangguk. Melihat diriku agak lesu, timbul rasa penasaran di benak Hendra.

"Kau tampak kurang sehat hari ini," Dia bertanya padaku.

"Apakah masalah kemarin membuatmu tak nyaman?" lanjutnya.

Aku sampai lupa peristiwa kemarin, apa yang kualami tadi malam membuat pikiranku hanya teringat senyum dan kata-kata luis.

"Apa tadi malam terjadi sesuatu?".

Pertanyaan itu seolah menarik seluruh urat rasa maluku, aku tersipu sekaligus terkejut.

"Ka...ka..kamu ngomong apa sih," dengan susah payah aku mencoba mengelak dari pertanyaan itu, aku mulai mempercepat langkahku menjauhi Hendra, meninggalkan dia dengan wajah bingungnya.

Di depan gerbang aku melihat sosok yang semalam membuatku tak mampu menggerakkan tubuhku.

Aku menghentikan langkahku, terdiam memandangi sosok yang aku mulai ragu menilainya. Masih takut, namun perlahan ada perasaan lain ketika aku memandangi wajahnya.

Setelah beberapa detik memandanginya sebelum masuk ke sekolah dia melihatku, menghentikan langkahnya kemudian tersenyum padaku.

"Sudah, kuduga aku gaenak badan." Aku berbalik arah, Hendra yang saat itu bersamaku semakin keheranan.

"Lah gajadi sekolah?," Hendra terlihat kaget dengan keputusanku.

Aku seolah tak memperdulikannya, melangkahkan kakiku dengan cepat.

Bukan tuk manusiaWhere stories live. Discover now