Part 6 : Apakah Salah Jika Langit tak Berbintang?

24 8 0
                                    

"Bagaimana menurutmu?" tanyanya sambil membuka lebar kedua lengannya, menanyakan bagaimana penampilannya saat ini.

"Hmm...cocok sih," jawabku kecut.

"Hari ini aku tak melihatmu berada di kelas," wajahnya serius.

"Atau jangan-jangan si monyet itu melakukan sesuatu padamu," dia mengerutkan dahinya, pandangannya seakan penuh dengan rasa cemburu saat itu.

Aku terdiam, hal itu membuat luis makin curiga padaku.

Tanpa sepatah kata dia menggenggam tangan kiriku, kemudian menarikku secara tiba-tiba. Hentakan ringan itu tak urung membuat tubuh cungkringku bertabrakan dengan badannya.

Aku merasakan tangan kanan dingin luis mengait di pinggulku, menggenggam erat di sisi kanannya.

"Ikutlah denganku," bersamaan dengan ajakan itu aku merasa tubuhku meninggalkan pijakanku.

Nampak gumpalan asap hitam berada di belakang luis, membentuk dua buah sayap berukuran masing-masing separuh badan manusia. Sayap itu berkibas perlahan, aku merasakan desiran angin tipis di tiap kepakannya.

Perlahan luis menarikku keluar jendela kamar, kami berdiri di atas balkon tanpa menyentuhnya.

Aku tak mampu berkata kata, merasa takjub dengan apa yang kualami ini. Aku hanya mampu berteriak dalam hati, malam yang dingin itu tak terasa oleh kulitku.

Seluruh badanku teramat panas, terutama wajahku. Kemudian secara perlahan Luis bergerak ke atas, dua, tiga, empat meter di atas atap rumahku.

"Dia memelukku," Cuma itu kata yang terbesit di kepalaku.

"Bisakah kau berdansa, tuan putriku?" tanyanya seraya tersenyum dengan hangat.

Tanpa aku bisa membalas pertanyaan itu dia bergerak perlahan, dekapan erat di pinggangku menarikku memutar, seakan menari di atas langit.

"Hei nis, tahukah kau saat ini berapa banyak bintang di langit sana," dia bertanya padaku seraya menatap tajam ke arahku.

Dengan polosnya aku mendongak ke atas sambil membiarkan tubuhku di gerakkan oleh luis.

"Aku tak mampu menghitungnya, pertanyaan bodoh macam apa itu," protesku.

"Aku juga tak mampu menghitungnya, aku terlalu fokus dengan bola matamu yang jumlah kliauannya melebihi bintang-bintang di atas sana," senyuman itu membuatku tersipu, aku memejamkan mataku.

Hal itu membuat pandanganku gelap, aku merasakan daguku di tarik dengan perlahan oleh luis, mendongakkannya ke atas.

Aku sedikit membuka mataku, aku terkejut tatkala melihat luis berusaha menciumku saat itu.

Tak mampu bergerak, berbicara atau meronta, kurasa saat ini aku hanya bisa pasrah.

"Oh, hampir saja aku khilaf," candanya.

"Kecantikanmu seakan membuatku tak mampu mengendalikan pikiranku," imbuhnya.

"Kurasa sekarang saatnya kita turun."

Kini luis melipat kedua sayapnya, meluncur lurus kebawah. Hingga kedua kakiku yang telanjang menyentuh besi dingin tanda telah mencapai balkon rumahku.

"Nis awas," Luis mendorongku, aku terlempar hingga tubuhku mendarat tepat di atas ranjangku.

Bersamaan dengan itu kulihat bayangan hitam melompat dan menghantam keras ketubuh luis. Membuat tubuh luis terlempar keluar.

"Apa yang kau inginkah hah?," aku mendengar sebuah teriakan.

Aku mengenal suara ini, tanpa berfikir aku segera berlari keluar rumahku. Menyaksikan dua orang pria berada di halaman samping rumahku.

Hendra, dialah orang yg berada di kamarku kemudian mendorong luis jatuh. Sekarang dia berada di atas tubuh luis, tangannya menarik kedua kerah jas luis.

"Aku sudah memperingatkanmu untuk mengurungkan segala niatanmu pada Nissa," Hendra benar-benar marah, kulihat rambut kuning keemasanya mulai memanjang hingga ke dagu, wajahnya mulai penuh dengan kerutan.

Bulu-bulu tipis senada dengan warna rambutnya mulai nampak di kedua lengannya. Hingga sebuah ekor nampak menyembul dari tulang belakangnya.

Baru kali ini aku melihat wujud asli Wanara, benar-benar seperti yang dia ceritakan. Badan Hendra pun nampak sedikit membesar dari ukuran aslinya.

Luis yang saat itu hanya terdiam, tak membiarkan Hendra menguncinya, dia merubah dirinya menjadi kepulan asap kemudian terbang perlahan ke belakang lawannya itu.

Dengan cekatan Hendra mengayunkan lengannya, nampak seperti menggenggam asap hitam itu.

Benar saja, cengkeraman itu tepat di leher Luis.

Luis nampak kesakitan, namun pandangan matanya tetap lurus menatap ke arah Hendra.

Hal itu membuat tubuh luis mengejang, tubuhnya ikut menampakkan wujud aslinya, telinganya meruncing dan kedua taring tampak menyemmbul dari bibirnya.

"Kurasa kita tak bisa menghindari pertarungan ini," Luis tersenyum dingin, matanya memandang rendah orang yang saat ini mencekikknya.


Bukan tuk manusiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang