Part 10 : Apakah Salah Jika Aku pernah Bahagia?

38 6 0
                                    

Kira-kira sudah hampir setengah jam kami berjalan, Wira Nampak berwajah datar seperti biasa. Tanpa ada sepatah kata meluncur dari mulut kami, berjalan bersama menyusuri jalanan perumahan yang Nampak lenggang di waktu malam, hanya sesekali melihat tukang ketoprak atau bakso lewat.

"Nis," Aku terkejut tatkala Wira memanggilku secara perlahan.

"emmm...ga jadi deh,"

"astaga, nih anak," dalam hatiku mengumpat.

Tapi dalam diam itu, aku penasaran dengan latar belakangnya. Kucoba untuk mulai angkat bicara mengenai hal itu.

"Wir, kamu kan manusia harimau yah... gimana sih rasanya?" aku nekat bertanya.

Wira menanggapi baik pertanyaanku, dia berkata sebenarnya manusia harimau tetaplah manusia, walau secara fisik bisa berubah jadi harimau.

Dia mengatakan ada ritual khusus dimana seseorang manusia biasa bisa menjadi manusia harimau. Dikatakannya dulu sewaktu kecil kesempatan hidupnya hampir tidak mungkin ada, karena hal itu ayahnya yang seorang tetua desa meminta saran kepada dukun di desanya.

Dukun itu mengatakan untuk mengumpulkan bulu harimau, cakar dan taringnya. Semua benda itu dikumpulkan menjadi satu, dibakar hingga menjadi abu kemudian di konsumsi oleh sang anak.

Tak sulit bagi sang kepala desa memenuhi sarat itu, para pemburu gelap mau menukarnya dengan harga tinggi. Kepala desa yang saat itu hampir putus asa tak punya pilihan lain.

Akhirnya setelah semua sarat dipenuhi, racikan itu tercipta. Dan setelah dikonsumsikan ke anaknya kesehatan anaknya berangsur-angsur pulih.

Namun effeknya menjelang dewasa, sang anak diharuskan berguru pada seseorang. Berkaitan dengan kekuatan mistis yang makin kuat tiap harinya.

Hal itu membuat Wira harus pergi dari desanya, berguru kepada sesama manusia harimau. Tak berhenti disitu saja, Wira ternyata memiliki suatu ingatan buruk mengenai hal itu.

Sebenarnya dia merasa berat harus meninggalkan desanya, dia memiliki paling tidak beberapa orang sahabat, tak terkecuali Resti. Wira dan Resti sahabat dari kecil, gadis kecil ini seakan menjadi pertanda dimana Wira berada.

Wira kecil hidup dalam kebahagiaan, dimana kedua orang tuanya benar-benar menyayanginya, para sahabat yang selalu mendukungnya.

Aku terus saja mendengarkan Wira bercerita sambil berjalan di belakangnya. Bahkan sesekali wajahnya yang datar itu menoleh ke arahku, Nampak matanya sedikit lenggang, terlihat guratan kecil pada bibirnya.

Dia tersenyum, melihatku seraya berkata "itu adalah masa dimana aku merasa benar-benar hidup".

Kami terdiam beberapa saat, aku masih penasaran tentang pengalaman buruk yang Wira alami. Dan seiring berjalannya waktu, tak terasa hampir setengah jam kami berjalan dan tak ada yang terjadi satu peristiwa pun.

Kedua bola mataku mulai tertarik dengan seseorang di depanku, diam-diam kupandangi seluruh postur pria yang dibalut rompi kotak-kotak ini. Ingatanku mencuat tatkala wajah polosnya yang selalu ingin kupukul, namun kini aku merasa dia benar-benar seorang lelaki.

Badannya tak kalah gagah dari pria-pria yang kukenal sebelumnya, sifatnya yang misterius menambah nilai plus bagi siapapun wanita yang melihatnya. "Pantas saja Hana tergila-gila padanya" bisikku dalam hati.

"Eh nis, istirahat dulu yuk," ucapannya membuyarkan lamunanku.

Kami sampai di sebuah taman tepat di tengah perumahanku. Wira berjalan ke arahku sambil menyodorkan minuman yang baru saja dia beli dari warung dekat sini.

"Ga terjadi apapun yah," ucapnya seraya tersenyum.

Entah kenapa hari ini Wira nampak sering kali tersenyum, memang terlihat manis tapi aku merasakan hawa dingin di setiap lekuk bibirnya itu.

"Sekarang jam berapa? Anak-anak bilang kita kumpul jam satu," ucapku menjawab pernyataan Wira.

"Mungkin jam sepuluh," jawabnya.

"Hah? Masih tiga jam lagi kita harus berjalan seperti ini?"

Dia tak membalas perkataanku, sekali lagi dia hanya tersenyum. Aku berusaha mengalihkan pandanganku darinya, senyuman itu membuatku sedikit merinding.

Saat kucoba melirikkan mataku kembali ke arahnya, aku terkejut. Kedua bola mata Wira Nampak tajam memandangku, bak hewan buas yang sedang mengintai mangsanya.

"Wira apa-apaan sih?" Ucapku sambil menutup kedua bola mata Wira menggunakan tangan kananku.

"Nis," suara Wira Nampak lebih berat dari sebelumnya.

"Entah kenapa dirimu terlihat menawan hari ini,"

Semua pendapatku tentang Wira berubah, seakan imej polos darinya berubah drastis. Perkataan itu, membuatku berfikir dua kali tentang siapa pria yang sedang duduk di sebelahku ini, menatapku dengan tatapn mirip seorang hewan buas yang mengincar mangsanya.

"Kau siapa?" mulutku terbata-bata mengejanya.

Bukan tuk manusiaOnde histórias criam vida. Descubra agora