Part 8 : Apakah Salah Jika Kami Mengunjungimu?

43 6 0
                                    


Setelah peristiwa itu, hampir tidak ada diantara kami saling sapa atau apapun itu.

Hendra seakan hilang dari kehidupanku, seminggu sejak kejadian itu benar-benar tak terlihat lagi di dalam kelas ini. Begitu pula Luis, mereka bak hilang di telan bumi.

"Eh nis, mereka kemana ya kira-kira?" tanya Hana padaku.

"Mana kutahu," aku menjawab setauku.

"Aku melihat Bala beberapa waktu lalu, terlihat sedang mondar-mandir di depan sebuah apartemen." Tiba-tiba si wajah tak berdosa angkat bicara, tanpa kusadari Wira sudah duduk di antara aku dan Hana.

"Eh nis, siapa cowo ganteng ini?" Hana berbisik padaku.

"Namaku Wira, aku seorang ma...up," belum sempat menyelesaikan perkataannya aku seketika membungkam mulut Wira.

"Kau tau apa resikonya kalau anak sekolah tau kan?" bisikku pada Wira.

"Lagian semua teman sekelasku sudah tau kok," jawabnya.

"Hah...trus apa tanggapan mereka?" aku penasaran.

"Mereka tak percaya," ah, bodohnya diriku, seharusnya aku tau jaman sekarang mana ada orang yang percaya tahayul begini.

"Jadi, mau coba cari di tempat itu?" ajakah Hana seketika membuyarkan pembicaraan kami.

Aku, Hana, Wira dan satu lagi teman kami bernama Doni, Doni adalah wakil ketua kelas kami, badannya kurus berkacamata dan terlihat pintar. Hana mengajaknya karena memang sudah tugas perangkat kelas untuk menjenguk anggota kelas yang absen atau sakit.

Setelah beberapa jam mencari akhirnya kami tiba di sebuah apartemen elit di tengah kota yang sebenarnya cukup jauh dari kawasan sekolah kami.

Benar saja, sesosok makhluk mencurigakan nampak mengendap-endap di sisi samping pintu masuk. Kami berempat memutuskan bersembunyi di balik tukang somay di depan apartemen.

"Hai Bala," dengan polosnya si Wira menyapa sosok itu.

Mau tak mau kami bertiga harus mengikutinya.

Hendra nampak terkejut, wajahnya seketika memerah ketika tau kami memergokinya mondar mandir depan gedung.

"Gamasuk sekolah jadi tukang parkir nih?" Canda Hana.

"Bukannya ini apartemen tempat tinggal Luis," Imbuh Doni.

Aku rasa Hendra tetap punya sisi manis juga, dia mungkin ingin meminta maaf atas apa yang telah dia lakukan tempo hari.

"Kalo gitu kenapa ga sekalian jenguk Luis?" saranku pada empat orang di depanku.

Mereka setuju, Hendra yang nampaknya masih ragu dengan ideku. Kemudian kami berjalan beriringan memasuki pintu masuk apartemen.

"Pakai saja ini sebagai kesempatan untuk maaf," bisikku pada Hendra.

"Baru ketemu udh mesra-mesraan," Hana tersenyum melirik kami.

"Paan sih Han," kulihat wajah Hendra makin memerah karena candaan itu.

Kami menaiki lift, menuju ke alamat yang tertulis di data siswa yang di bawa Doni.

Sebuah lorong dengan dominan warna krem, dihiasi pot bunga berisi tumbuhan hias berjajar rapi di depan tiap pintu berjarak masing-masing lima meter.

Kami mengarah di ruangan paling ujung, tepat di samping sebuah jendela besar dimana kami bisa melihat pemandangan seantero kota dari situ, bahkan laut di dari kota sebelah juga terlihat.

Maklum saja kami berada di atas lantai duapuluh, tepatnya di duapuluhdua.

"Ruangan ini yah?" ruangan bertulis angka "707".

Kami saling pandang satu sama lain, mengisaratkan siapa yang memencet bel duluan.

"Assalamualaikum," Wira dengan entengnya membuka pintu.

Astaga nih anak, wajah kami berempat seketika terbengong melihat kelakuan kucing satu ini.

"Pintunya ga kekunci kok," Jawab Wira polos.

"Ganteng banget," Hana berseri.

"Apa han?" Aku kaget melihat ekspresi Hana melihat Wira.

"Emm... engga apa apa kok," dengan gelagat yang bisa di tebak dia menjawab.

"Masuk yuk, dah terlanjur," timpalnya, seraya tersenyum konyol di depanku.

Hendra Nampak tertunduk, wajahnya menatap ke lantai sejak tadi.

"Ndra...ga ikut masuk?" Tanyaku, mengingat ke tiga orang temanku sudah berada di dalam.

Hendra tak membalas pertanyaanku. Tanpa menunggu mulutnya terbuka seketika kutarik tangannya. Dan nampaknya Hendra tak melawan, dia menuruti apa yang aku lakukan.

"Nih tempat kok, ada horror-horrornya gitu yah," Kata Hana sambil menelusuri sebuah lorong yang ternyata lumayan panjang, dengan hiasan lampu lilin dan ornament patung berbentuk aneh. Warna lorong dengan gradiasi merah dan ungu menambah kesan suram tempat itu.

Lorong ini sekitar lima belas meter, tepat di ujung satunya terlihat sebuah pintu, desainya seperti pintu-pintu pada pemakaman eropa.

"Nih orang maniak kali ya," Hana tak henti-hentinya mengomel.

Kreeek...!

"Wira!!!" seketika kami berempat berteriak.

Sekali lagi tanpa kami duga, Wira membuka pintu aneh itu.

"Tuh, ga di kunci lagi,"

Dengan ekspresi tak berdosanya, membuat wajah Hana makin berbinar di buatnya.

Ruangan itu Nampak kosong, hanya ada sebuah sofa mewah, meja kaca menghias di depannya, televisi layar datar menempel di temboknya, ruangan yang berukuran lebih besar dari ruang kelas kami. Dengan kaca mengeliingi ruangan itu membuat kami lebih leluasa melihat pemandangan darinya.

Di kedua sisi kanan terdapat dua buah ruangan, salah satunya yang berada tepat di ujung tempat itu terlihat seperti dapur lengkap dengan perabotan dan lemari pendingin. Namun aku penasaran dengan ruangan lainya.

Ketiga temanku nampak asik menjelajahi seluruh ruangan itu, aku dan Hendra hanya terfokus di ruangan sebelah kanan kami ini.

Aku terkejut, tatkala melihat seluruh ruangan yang ditutupi cat berwarna merah jambu, dihiasi dengan pernak pernik seperti seorang putri raja, boneka berserakan di lantai serta sebuah tempat tidur mewah dengan tirai berenda senada dengan cat ruangan tersebut.

"Kalian mau apa disini," Suara terdengar dari ruangan itu, Nampak seseorang terduduk di atas ranjang.

Luis menatap kami dengan wajah panik.


Bukan tuk manusiaWhere stories live. Discover now