Part 14 : Apakah Salah Jika Aku Memperingatkanmu?

29 5 0
                                    

Setelah perkenalan yang "Wow" itu, hari ini kepalaku penuh. Rasa khawatirku terhadap Abbraham yang telah menolongku tadi malam memberikan tanda tanya besar di otakku.

Aku berharap agar bisa segera menemuinya, aku pun memantapkan pikiranku untuk bertemu William lagi nanti sepulang sekolah.

Namun bodohnya aku karena terlalu terlena memandang wajah William tanpa bertanya dia kelas berapa rumah dimana dan lainnya. Ke geeranku kali ini mengalahkanku, dengan putus asa aku berjalan lunglai pulang kerumah.

Tak ada yang menemaniku kali ini, Luis pergi entah kemana, Hendra harus menjaga Wira yang terbaring di klinik bu Rani. Cukup sepi rasanya aku berjalan sendirian seperti ini, tanpa kusadari aku menikmati waktu-waktu kami berjalan bersama.

Aku seolah lupa aku dulunya hanyalah seorang gadis penyendiri yang suka dengan ke otaku.an. Tanpa kusadari tubuhku kini telah berada di depan pintu masuk rumahku, waktu berjalan cukup cepat ketika kau mengingat masa-masa yang menyenangkan.

Segera aku menaiki tangga dan menuju kamar tidur.

"Lin...!" terdengar suara seorang wanita dari ruang tamu.

Suara itu amat teramat kukenal, suara seorang yang menjagaku hingga sekarang. Belakangan kami memang jarang bicara, walaupun beliau pulang beliau hanya bertanya soal sekolah biaya hidup dan lainnya, selebihnya hanya seperti orang tua dan anak biasa.

"Ibu pulang, ada apa bu?" senyumku tipis.

"Ibu ga pernah tau gimana sekolah kamu, ngomong-ngomong cowo itu," Ibu mendekatkan wajahnya padaku "Dia pacarmu bukan?" dia berbisik, membuatku tersentak lalu dengan cepat kualihkan pandanganku ke sofa tempat duduk tamu.

"Yo!" sapa seorang pemuda dengan wajah penuh luka dan diperban. Memakai kaos oblong berwarna hitam, jaket kulit berwarna coklat menggantung di sudut sofa. Celana jeans compang-camping, sebuah kalung salib menggantung di lehernya. Serta buah sepatu kets hitam bergaris putih.

"Abraham!" teriakku.

Ibu tersenyum ketika aku meneriakkan nama pria yang kini tersenyum sambil duduk di sofa, menaruh kedua tnagannya di pinggiran sofa.

"Cie, cie, ibu tinggal dulu ya... kalian ngobrol dulu Ibu buatin teh," ibuku nampak begitu bahagia, aku tak mengerti pikiran orang tua jaman sekarang, membiarkan anak putrinya berduaan dengan sorang lelaki yang bahkan tidak ibu kenal.

"Kau taka pa?" tanyaku memulai pembicaraan.

"Seperti yang kau lihat," dia membuka lebar lengannya, kemudian mulai merintih dan memegangi tangan kanannya.

"Tak usah memaksakan dirimu, untuk apa kau datang kesini?" tanyaku sedikit cemas.

Cengir bodohnya memudar, raut wajah pemuda itu berubah serius. Menampakkan sisi tajam dari dua bola matanya yang hijau bak batu giok china.

"Bukankah berbahaya jika terlalu lama bersama makhluk-makhluk itu?" tanpa basa-basi pertanyaan itu seolah menyudutkanku.

"Mereka bukan makhluk, mereka sahabatku, berhenti bicara seolah para sahabatku berbahaya," aku geram, emosiku meledak ketika mulut kotor pemuda ini menyinggung sahabatku.

"Kau tak lihat, apakah makhluk yang ingin memakanmu kemarin itu?" dia berdiri, matanya menyorot tajam, dia mengerutkan kedua sudut alisnya.

"Itu yang kau panggil sahabat?" nadanya sedikit naik.

Aku tak tahu kenapa dia bisa semarah itu, mungkin karena dia masih belum terima kekalahannya kemarin, membuatnya ingin menyalahkan segalanya.

"Jika iya memangnya kenapa?, aku tetap menganggapnya sahabat walau dia berusaha memakanku," balasku.

"ehm...ehm... cie romantis amat pake berantem segala," tanpa kami sadari ibu sudah berdiri di pintu sambil membawa beberapa cangkir teh.

"Ibu... bisa ga sih liat situasi dulu," rengekku.

"Aku hanya memperingatkanmu," dia menarik jaketnya, menyelimpangkannya ke bahunya. Kemudian melangkah pergi melewati kami.

"Lah nak Abraham ga minum dulu?" ibuku mencoba memanggilnya.

Abbraham kembali, mengambil satu cangkir teh panas kemudian meminumnya sampai habis.

"Makasih tante, maaf merepotkan...saya pamit pulang dulu te, selamat malam," dengan tergesa-gesa, melontarkan senyum terpaksanya pada ibuku lalu bergegas pergi.

Setelah berdebat dengan ibuku, bahwa Abraham hanyalah seorang adik kelas iseng aku kembali ke kamarku.

Suasana yang begitu taka sing ketika aku mulai merebahkan diriku di ranjangku.

"Keluarlah, aku sudah terbiasa dengan ini," aku berkata, seolah tau ada seseorang di kamarku.

Benar saja kali ini William turun dari atas atapku, berdiri tegak di pegangan balkon jendelaku. Wajahnya nampak terkejut mengetahui aku telah memergokinya.

"Baga..."

"Bagaimana aku bisa tahu kan?" emosiku masih belum berubah sejak tadi, dengan nada kesal kupotong kata-katanya.

Bagaimana tidak, aku benar-benar yakin kali ini, cowok cowok ganteng benar-benar terobsesi sama yang namanya kamar cewek.


Bukan tuk manusiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang