Chapter 9: Stalker

105 9 0
                                    

"Cinta sejati berasal dari hati dan kepercayaan. Percuma baik tapi tak bisa dipercaya. Percuma tampan atau cantik tapi tak berhati mulia."
-A&J-

Aurel mengusap wajahnya kasar. Ia malas berdebat dengan temannya saat ini. Saat ini di rumahnya Aurel sedang berdebat dengan temannya, Bryan. Sahabat kecil Aurel dulu.

   Iya, dulu. Dulu sebelum kejadian yang tak terduga itu terjadi. Jangan tanya kejadian apa itu, karena Aurel sendiri malas mengingatnya kembali.

   "Yan, lo pulang deh sekarang. Gue sibuk," ucap Aurel mengusir.

   "Rel, dengerin gue dulu-"

   "Nggak ada yang perlu di dengerin," ucap Aurel tegas.

   "Waktu itu-"

   "Gue benci sama lo!" teriak Aurel.

   Tanpa banyak kata lagi, Aurel langsung masuk ke dalam rumah. Menutup pintunya rapat dan berlari masuk ke dalam kamarnya. Tubuhnya di hempaskan ke atas kasur empuk yang di sukainya.

   Air mata Aurel mengalir. Aurel menangis. Hampir 5 tahun Aurel mencoba melupakan kejadian itu. Kejadian dimana ia di lupakan dan dijauhi oleh semua orang. Hanya karena Bryan.

   Aurel mengusap air matanya dan mengambil handphone-nya yang ada di dekatnya. Bersamaan dengan Aurel yang mengambil handphone terdapat satu panggilan masuk dari Jeremy.

   Aurel menjawab panggilan tersebut. Tapi Aurel hanya diam. Ia masih kesal dengan Bryan.

   Jeremy terus berbicara sendiri. Ia menceritakan kejadian di sekolahnya ketika Jeremy dihukum oleh guru karena tidak membuat tugas dan di permalukan oleh guru di lapangan sekolah.

   Aurel mendengarnya tapi tidak berniat membalasnya.

   Biasanya jika Jeremy menceritakan kejadian di sekolahnya, Aurel lah yang paling bersemangat. Tapi untuk saat ini, tidak.

   "Aurel! Daritadi gue ngomong nggak lo dengarin. Lo masih di sana kan? Masih hidup kan?" tanya Jeremy sebal.

   Aurel tersentak mendengar panggilan Jeremy. Ia mengerjap cepat dan mengangguk tanpa sadar.

   "Masih kok. Yakali gue udah nggak hidup. Gue juga denger kok cerita lo, gue cuman lagi bingung aja mau balasnya gimana," ucap Aurel.

   "Yaelah lo mah nggak asik ah. Males gue. Yaudah gue mau cari kesenangan gue sendiri dulu. Bye!"

   Tanpa menunggu jawaban Aurel, Jeremy sudah lebih dulu memutuskan panggilan mereka. Aurel menarik nafas panjang, dirinya merasa lelah.

   Aurel memutuskan untuk tidur siang daripada ia harus meladeni Jeremy yang sepertinya ngambek.

   Dua jam berlalu, Aurel masih nyaman dengan tidurnya. Mimpinya yang indah membuatnya tidak rela untuk bangun dan meninggalkan mimpi indahnya itu.

   Tapi alam bawah sadarnya berkata lain, Aurel harus bangun dan meninggalkan mimpinya karena handphone-nya terus berbunyi.

   Ada panggilan masuk.

   Aurel bisa melihatnya walau sedikit buram karena ia tidak memakai kacamata-nya. Aurel juga tidak memperhatikan nama si penelepon. Ia langsung saja menjawab panggilan tersebut dengan mata yang terpejam.

   "Halo?"

   "Iqbaal pacaran sama Vanessa?"

   Aurel mengernyit bingung.

Aurel & Jeremy ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang