25_Sebelas Januari

3.5K 518 28
                                    

Yerim galau tingkat dewa. Kim Seokjin harus meninggalkan dirinya seorang diri di Seoul. Si Sulung itu telah mendapatkan mandat untuk mengelola peternakan dan perkebunan milik Sang Ayah di Gwangju.

Sebenarnya dulu ketika Dua Kim itu masih kecil, mereka berempat masih berkumpul di Seoul, namun seiring waktu berjalan, usaha yang dirintis sebagai pemilik perkebunan harus dijalani di luar kota besar ini. Alhasil, tersisa Seokjin dan Yerim tertinggal dengan asuhan ala anak kota.

Nanti siapa yang menjaga Yerim? Siapa yang akan dikerjai Yerim? Siapa tempat gadis itu curhat? Siapa patner memasaknya di dapur? Siapa tempat Yerim mengomel kalau bertengkar dengan kekasihnya?

Sungguh, Yerim belum siap. Tapi kalau disuruh meninggalkan Seoul juga tidak bisa. Masih ingat Si Jeon kan? Jauh dari laki-laki itu juga berat.

Duh! Yerim dilema.

Omong-omong, Jungkook peka kok. Dia sadar kalau hubungan dua tahun dengan Yerim harus memiliki sebuah tujuan. Bagaimanapun usia mereka bertambah, masak iya hanya seperti ini? Sebagai laki-laki dewasa, dia sepertinya tahu apa yang harus dilakukan.

-----

"Kau serius, Kook? Tidak dipikir lagi? Yerim memang sudah pernah kau tanyai?"

Jeon Jungkook mengangguk tiga kali menjawab pertanyaan Seokjin. Sementara Jimin terlihat luar biasa bangga pada sahabatnya yang lebih muda itu.

"Sebenarnya sepasang kekasih menjalin hubungan itu mau bermuara di mana? Itu pilihan, hyung. Yang harus disepakati berdua. Kurasa sekarang saatnya."

"Kau yakin? Ini Kim Yerim loh?"

Jimin ingin tertawa melihat wajah takjub Seokjin. Kakak Yerim itu terlihat tidak percaya akan kesungguhan Jungkook. Mungkin karena sikap savage Yerim yang kelewatan saat bersama Jungkook.

Memang sih pemuda itu suka bercanda, tapi kali ini lain. Jungkook sudah memikirkan rencana itu sejak empat bulan yang lalu. Dan kini Jimin semakin yakin sahabatnya itu akan benar-benar melakukannya.

"Hyung percaya padaku? Kami akan menjalaninya bersama. Yerim bukan gadis kecil lagi."

Mata Seokjin berkaca-kaca. Nah, kalau seperti ini, pemuda itu tidak sungkan memeluk Jungkook -si calon adik ipar.

"Kupegang janjimu, Kook!"

"Tentu saja, hyung!"

----

Sebelas Januari. Salju masih turun, jalanan masih tertutup kepingan halus berwarna putih kristal tersebut.

Jungkook mengeratkan mantel, bibirnya mulai membiru di bawah suhu minus dua puluh derajat celcius. Uap dingin keluar dari mulut, matanya sesekali terpejam saat angin menerpa telinganya yang memerah.

"Oppa!"

Mata Jungkook terbuka saat suara perempuan terdengar. Yerim datang dengan mantel super tebal membalut tubuh mungilnya. Lalu senyum Jungkook terbit seketika.

"Hai, Rim!"

"Dingin!" Suara itu terdengar bergetar. Yerim berusaha melawan dinginnya udara luar. Gadis itu lalu celingukan, ia kira Jimin mengantarnya tadi sampai lapangan kosong dengan satu pohon besar itu. Tapi ternyata tidak.

"Sini, Rimie!" Jungkook menarik lengan Yerim.

"Sedingin ini kenapa di sini sih?"

Jungkook melihat bibir Yerim mengerucut akibat merancau tidak jelas. Merutuki kenapa Seoul bisa sebeku ini? Kenapa mereka harus di ruang terbuka? Apa Jungkook mengambil kesempatan untuk bisa memeluknya? Tapi kan tidak harus di sini. Di dalam ruangan juga tidak masalah.

"Kita mau apa di sini?"

Jungkook menuntun langkah Yerim menuju pohon besar. Tidak berkata sedikitpun selain tersenyum menanggapi omelan kekasihnya.

Sumpah, Yerim terlihat semakin imut ketika wajahnya tenggelam di balik syal merah kotak-kotak yang melilit leher hingga menutupi pipi. Untung Yerim penurut, jadi Jungkook tidak perlu berperan sebagai penculik.

"Ini pohon yang dulu sering kita kunjungi kan?"

Good! Ingatan Yerim bagus juga.

"Dulu terlihat besar sekali, oppa!"

Jungkook menatap gadis di sampingnya. Sengaja menunduk, mengarahkan pada satu gundukan yang hampir rata dengan tanah.

"Eh?"

Yerim mengerjap kecil, dilihatnya Jungkook membalas tatapannya. "Sepertinya aku pernah menaruh kotak berisi surat di sekitar pohon ini."

..

Kim Yerim, gadis itu hampir saja menangis saat membaca surat dekil yang pernah ia tulis. Ada dua surat di sana, satu miliknya, satu milik Jungkook yang terlihat jauh lebih rapi.

Sebelas Januari, kita akan merayakannya bersama. Jeon Jungkook akan selalu ada untuk Kim Yerim.

Tidak pernah terpikir oleh Yerim kalau kakak kelasnya itu melamarnya dengan cara seperti ini. Di dalam kotak ada cincin seukuran jari manisnya. Seperti replika cincin mainan yang dulu pernah ia beli untuk Jungkook di pasar malam, delapan belas tahun yang lalu saat ia berumur sembilan tahun. Ia ingat semua.

"Sebelas Januari, kau mau melewatinya bersamaku, Yerimie?"

Jungkook terlihat berbeda di mata Yerim. Meski kadang ia berpikir laki-laki itu tidak akan bisa serius, nyatanya pemikirannya itu terpatahkan saat ini.

Tepat saat senja mulai berangsek menghampiri, Jeon Jungkook menyematkan benda berwarna silver itu untuk melingkar di jari manis Kim Yerim.

"Sekarang ada aku yang sepenuhnya bertanggung jawab akan dirimu. Jangan resah lagi ya?"

Sekuat-kuatnya Yerim, dia masih seorang perempuan yang memiliki sisi melankolis. Kalau Jungkook bersikap seperti ini, jawabannya sudah pasti bukan menolak.

"Kok diam, Rim?"

Merapatkan mantel, memajukan kaki hingga wajahnya sangat dekat dengan tubuh jangkung di hadapannya, Yerim mengulurkan tangan untuk kemudian memberi satu pelukan hangat.

"Iya, aku mau menghabiskan Sebelas Januariku bersamamu. Hingga kita tua nanti," bisiknya.

Keduanya tersenyum, berbagi kehangatan lewat satu pelukan hangat. Sepertinya memang harus seperti itu. Bagi Jungkook, Sebelas Januari adalah hari istimewa baginya. Hari dimana pertama kali ia bertemu Kim Yerim. Tetangga baru yang memberinya lollipop di saat dirinya sakit gigi. Tetangga yang cuek dan tidak peka. Tetangga yang pernah menjadi sahabat sekaligus mantan kekasihnya. Tetangga yang pindah tanpa pamit padanya.

Kim Yerim bukan lagi tetangga bagi Jungkook. Gadis itu akan tinggal seatap dengannya suatu hari nanti.

"Rim."

"Hem?"

"Kapan kita bertemu ayah ibumu?"










MignonneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang