2. Menawarkan diri

7.7K 1.2K 116
                                    

Yang mau nanya lanjutan JMo harap sabar ya, bukan ini sibuk warbiasak deh. Sepupuku nikah disusul sepupu suami juga nikah, tanteku naik haji Tante suami juga naik haji 😅😅 so kayaknya memang waktu buat ngumpul bareng keluarga dulu deh ya, buat kalian menyusul deh!

Sama-sama tinggal di kawasan Lebak Bulus memberi Atta kemudahan untuk selalu bertemu Rifkar Arsan kapan dia ingin. Dan memang itulah yang dirancang Rifki-panggilan kesayangan temannya itu-sejak Atta mengemukakan keinginan untuk mandiri dengan menyewa tempat tinggal sendiri.

Meski demikian keadaan tempat tinggal mereka tentu saja bagai bumi dan langit.

Sebagai lajang mapan Rifki sudah menstabilkan kehidupannya dengan memiliki hak guna bangunan atas sebuah apartemen mewah. Sementara Attalia hanya mampu tinggal di rumah susun sederhana sewa milik kementerian pekerjaan umum yang luasnya hanya duapuluh satu meter persegi.

Ketika pintu terbuka dilihatnya mata Rifki yang sembab tampak kontras dengan rambut basah dan aroma ozonic khas sabun favorit yang menegaskan jika lelaki itu baru saja mandi.

"Masuk," kata lelaki itu sambil melangkah sempoyongan menuju sofa, di sana Rifki langsung rebah dan kembali memejamkan mata.

"Masih hang over?" Attalia duduk di sofa tunggal berwarna merah tepat diseberang sofa pasangannya yang menjadi tempat sahabatnya melabuhkan tubuh.

"Begitulah," suara Rifki terdengar serak. "Ngomong-ngomong, apa kamu sadar sama apa yang kamu bahas di ponsel tadi," mata sembab Rifki menatap wanita dihadapannya tak yakin.

"Please Ki, tolong bantu aku cari pekerjaan."

"Lia, kamu bisa pakai duit aku dulu, atau apartemen, apapun yang kamu mau."

"Ki, yang saat ini aku butuhkan hanya pekerjaan, aku punya banyak kebutuhan untuk bertahan hingga anak ini lahir," Attalia tersenyum kecut seraya menunduk dan mengelus perutnya pelan. "Semua treatment yang dokter beri bikin aku nggak cuma butuh duit sejuta dua juta, itu belum termasuk persiapan biaya melahirkan. Meski aku bisa pinjam dari kamu ... pada akhirnya aku tetap harus membayar semua hutang-hutang itu kan!"

Untuk beberapa saat tidak ada sahutan bahkan hela nafas dari lelaki yang berbaring malas di sofa panjang itu. Akan tetapi Atta yakin Rifki sepenuhnya mendengar.

"Kamu tahu kan apa pekerjaan aku Lia?"

"Aku tahu, dan aku siap dengan segala konsekuensinya."

"Jadi, aku tanya satu kali lagi. Kamu benar-benar sanggup menanggung resikonya?" lelaki itu tampak belum sepenuhnya yakin.
"Pastikan saja kapan aku bisa kerja." cetus Atta tak sabar.

"Ini nggak mudah, kondisi kamu,"

"Aku baik-baik saja Ki, jika cuma sekedar seks ... Aku masih bisa melakukannya."

"Walau kamu bilang seperti itu ... aku akan tetap carikan 'klien' yang cocok untuk kamu."

"Apa itu butuh waktu lama?" Desakan dalam nada suara Atta membuat Rifki tidak tega untuk mengangguk.

"Dengan kondisi kamu yang sekarang, aku nggak bisa kasih kamu klien sembarangan."

"Kenapa?"

"Para pemakai jasa aku kebanyakan memiliki selera terhadap beraneka kegiatan seksual beresiko. Kamu tentu saja nggak ingin berakhir dengan lelaki seperti itu kan?"

Atta mengangguk, ada sedikit ekspresi kengerian yang coba disembunyikannya namun tak lolos dari pengawasan Rifki.

"Lia, aku tahu kamu sebenarnya takut, tapi kenapa kamu masih memaksakan diri? Toh kamu bisa menemui lelaki itu kan? Kamu bisa mengandalkan aku untuk menghajar manusia kurang ajar itu."

Attalia tertegun sebagai reaksi. Sudah lama rasa-rasanya mereka tidak pernah membahasnya, Rifki tahu topik tentang penebar benih tak bertanggung jawab itu adalah objek bahasan sensitif, akan tetapi sepertinya hari ini kemampuan Rifki untuk menahan diri dari topik itu sepertinya sudah usai.

"Ki, sejak dia ingin aku mengaborsi anak ini, dia sudah nggak berhak,"suara Attalia yang tercekat menjelaskan rasa sakit sebesar apa yang ditanggungnya saat kembali membahas ini. "Anak ini milik aku ... cuma milik aku."

"Aku ngerti. Tapi apa kamu sanggup membesarkannya sendirian?" Anggukan mantap Atta membuat Rifki menghela nafas panjang seraya memejamkan mata dan memijat bagian diantara sepasang alisnya. "Aku seharusnya tidak perlu menanyakan ini, iya kan!?"

Attalia tersenyum tipis seraya kembali mengelus perutnya. Ekspresi wajahnya yang melembut membuat Rifki tak habis pikir bagaimana sahabatnya itu bisa kuat setelah didera cobaan berkali-kali. Mulai dari dicampakkan kekasih, merawat kandungannya seorang diri, nyaris terlantar dan hampir kehabisan uang hingga sanggup menawarkan diri pada perantara bisnis hitam sepertinya.

Ada banyak yang ingin Rifki tanyakan, tapi lelaki itu tahu diri untuk menahan lidah demi tidak membuat sahabatnya sakit hati.
"Tunggu bentar deh, aku ke kamar dulu ambil uang kontrak buat kamu," terhuyung lelaki itu berdiri.

"Uang kontrak?" Attalia menatap Rifki bingung.

"Sebagai tanda sepakat aku biasa kasih uang muka untuk pihak yang mau bekerja sama aku, sisanya nanti dibayar setelah pekerjaan selesai," Rifki menolak menatap sahabatnya karena tahu hal itu justru akan membuat kebohongannya tercium dengan mudah. Tapi Rifki benar-benar tidak tahu cara untuk membuat Atta menerima bantuan darinya selain dengan berbohong.

"Setelah ini kapanpun aku butuh kamu untuk 'kerja' kamu harus siap ya," tambahnya kemudian hanya agar kebohongan itu dipercayai sahabatnya. Tak butuh waktu lama sampai lelaki itu balik lagi ke ruang duduk, ditangannya ada dua bundelan uang pecahan seratus ribuan yang ditaruhnya ke meja.

"Ambil," perintahnya pada Atta yang sejak tadi menatap uang itu dengan mata membulat.

"Semuanya?"

"Pergunakan uang itu untuk membeli pakaian dan kosmetik yang akan bikin kamu terlihat worth it," Rifki mengedip penuh arti. "Dan jangan lupa jaga kesehatan, aku nggak ingin kamu kenapa-kenapa."

"Kamu ada acara malam ini?"

"Meeting di Troime dengan pemiliknya."

"Troime?"

"Itu klab eklusif yang sering memakai jasa aku."

"Oh!"

"Kenapa?" Rifki menatap Atta penuh tanya.

"Aku nggak tahu penampilan yang menurut standar kamu oke itu gimana? Pengen minta ditemani kamu belanja sih sebenarnya."

Rifki tersenyum seraya mengulurkan tangan untuk mengacak rambut Attalia dengan sayang. "Besok deh."

"Nggak usahlah ... besok kamu pasti sibuk juga kan." Atta tersenyum pengertian seraya mengulurkan tangan untuk memeluk bahu Rifki kemudian mendaratkan kecupan singkat di tulang rahang kanan lelaki itu.

"Lagipula besok aku juga ada jadwal ketemu dokter, pulangnya nanti aku bakalan mampir ke mall, nanti aku tanya-tanya sama mbak-mbak beauty advisor!"

Rifki mengangguk setuju, "Tapi kalau kamu nggak yakin kamu bisa hubungi aku."

Attalia mengangguk sambil tersenyum, "Thanks Ki," ucapnya tulus yang dibalas dengan senyuman kecut Rifki.

Tak lama Atta berdiri seraya menyambar tas yang dibawanya, urusannya untuk sementara telah selesai, dan sudah waktunya untuk pulang dan mengurus diri sendiri. Dia pamitan pada Rifki dengan santai, sama sekali tidak mengetahui pergumulan batin lelaki itu atas kesepakatan yang baru saja mereka buat.

Rifki mungkin jenis pria yang bisa menghalalkan apa saja untuk mendapatkan keuntungan. Tapi menjual sahabat baik sejak kecil bukanlah salah satunya.

TBC
Monster Valenberg masih belum nongol yaaak jangan kecewa duluuuu dong.
Biar lamban asal tidak mengecewakan 😘😘😘






Properly in LoveWhere stories live. Discover now