Full Moon and Mist

8.9K 736 87
                                    


Bulan Purnama.

Cahaya pudar itu memasuki celah-celah kastil yang berdiri angkuh di tengah hutan dan pegunungan yang mengelilinginya. Ranting-ranting pohon masif seperti cakar penyihir yang menakuti setiap jiwa yang berani mendekat. Batuan kokoh tinggi berdiri seperti pilar yang menghubungkan selubung gaib tak tertembus mata manusia.

Daun-daun menari menaungi dalam diamnya malam. Seolah berbisik mantra satu sama lain.

Cahaya oranye berpendar mengambang di udara bersinar remang-remang di sepanjang persimpangan jalan. Bunga-bunga liar berbentuk lonceng merunduk bersinar violet dan indigo yang semu. Di antara rumah-rumah sederhana cahaya-cahaya kecil menari di udara.

Pondok-pondok kayu berjajar rapi seperti jamur bercahaya pudar. Bunga-bunga liar berpendar terang di kegelapan hutan. Mahkotanya mengeluarkan serbuk bercahaya yang menari lembut.

Jauh dari kepadatan desa di seberang sungai kastil itu berdiri bermandikan cahaya bulan. Indah dan menyeramkan. Angkuh dan elegan di tengah sunyinya malam. Jauh di dalam kastil yang terbuat dari bebatuan itu—tepatnya di sebuah aula—seseorang berpunggung tegap tengah berdiri menghadap jendela raksasa yang menghadap kolam luas. Cahaya bulan keperakan menyapu wajah tegasnya.

“Yang mulia—”

“Sudah kukatakan untuk tidak memanggilku seperti itu.”

Orang itu mendesis. Suaranya serak dan mengintimidasi, membuat pelayan di belakangnya tersentak mundur ke belakang. Bahunya kini makin merosot.

“Maaf, Tuan.”

Orang itu tidak beranjak dari tempatnya ataupun bergeser sedikit pun. Tidak pula ia menengok pada pelayan yang kini hatinya was-was. Menanti kata-kata yang akan keluar dari mulut tuannya.

“Indah bukan?” ucapnya kemudian.

“Ya?”

“Bulannya. Indah bukan?” ulangnya lagi. Wajahnya kini menengadah menatap dewi malam.

“Tentu, Tuan.” Pelayan itu menjawab hati-hati. Tidak tahu arah pembicaraan orang yang dilayaninya.

“Tapi walaupun begitu—seberapa indahnya itu—rasa sakit ini selalu muncul. Keindahan itu memang kejam,” bisiknya parau, merambat ke dinding-dinding kastil. Memantul pada batu pualam.

Pelayan itu ragu kata-kata itu ditujukan padanya. Atau mungkin—tuannya sedang berbisik pada gelapnya malam. Atau pada indahnya bulan yang begitu kejam padanya selama berabad-abad hidup di bumi.

“Aku akan segera menemuinya.”

“Maaf?”

Dengan gerakan perlahan ia membalik badannya. Cahaya bulan yang menerpanya dari belakang membayangi wajah dan tubuh bagian depannya. Ia tersenyum tipis, seolah-olah sudah terlatih akan hal ini.

Kakinya melangkah ke tengah ruangan, dimana sebuah cawan besar dari lempengan perunggu melayang di atas api biru yang menjilat-jilat lemah. Di  sekelilingnya membentuk setengah lingkaran berderet piala-piala berukuran sedang berisi kristal hitam transparan yang di dalamnya terdapat ribuan titik berkilauan seperti bintang.

Ia mengambil satu dari masing-masing piala dan menjatuhkannya pada cawan berisi cairan keperakan.

“Ah, tidak. Dia yang akan datang padaku.”

Kabut bersemayam mengisi ruang-ruang hampa Hy-Brazir malam itu. Menurunkan angka temperatur yang menggigit dan menusuk tulang. Di sebuah pondok sederhana seseorang tengah sibuk membalik-balik tubuhnya di atas kasur.

Malam itu sangat dingin. Harusnya ia bergelung dalam selimut seperti burito. Namun yang didapati kini adalah seorang pemuda yang sibuk menjejak-jejakan kaki secara acak. Keringat dingin membasahi kening dan punggungnya. Nafasnya tersengal dan putus-putus. Dahinya berkerut dalam.

Sprai putih di bawahnya sudah kusut karena pergerakannya yang liar dan sesekali cengkeraman yang kuat. Selimutnya kini sudah terkulai acak di kaki ranjang.

Ia meringkuk seperti bayi. Bibirnya bergetar setengah terbuka menahan teriakan. Nafasnya makin memberat  dan dadanya naik turun dengan ritme kacau. Tangannya mencengkeram dadanya kuat. Rambut coklatnya menempel pada pelipis.

Suara jangkrik di luar satu-satunya suara yang menemaninya di tengah malam yang mati.

“Come.”

Praang

Lampu tidur yang berada di nakas berserakan menjadi tiga bagian di atas lantai karena  tangannya sendiri. Matanya terbuka lebar mendengar suara nyaring bola lampu yang pecah.

Nafasnya memburu. Kepalanya berputar dan berdenyut sakit. Penglihatannya berkunang-kunang. Perlu beberapa detik untuk menyesuaikan lensanya pada kegelapan malam. Dengan gerakan patah-patah ia berusaha duduk di tepi ranjang. Ia mengeluh begitu melihat kekacauan yang dibuatnya.

Ia harus mengganti lampu itu besok pagi atau dia tidak akan bisa tidur.

Kepalanya kembali berdenyut nyeri saat mencoba untuk berdiri. Kilasan  mimpi aneh dan absurd kembali berputar samar-samar.

Donghyuck rasa ia tidak bisa kembali tidur malam ini.


A/N: Holla~~~ apa ini? Hehehe selagi nunggu apdetan Clairvoyance dan Race of The Heart, author publish ff ni dulu yang sudah lama mengantri di draft.

Ada yang tertarik kah? Hehehe~~

Ini setting nya...... Di..... sebuah tempat yang dibentuk imajinasi author :(

Selamat membaca yaps

Kritik dan saran boleh banget

See you^^

You Can Call Me MonsterWhere stories live. Discover now