State IV

3.6K 539 132
                                    

Malam itu berangin dan hujan turun cukup lebat. Ia tidak ingat detailnya tapi Donghyuck sesekali melihat kilatan cahaya putih yang diikuti suara ledakan bergemuruh kemudian. Terkadang suara itu didahului akar-akar petir yang menjuntai dari langit sebelum bergema susul menyusul.

Dalam mimpinya, Donghyuck juga sering melihat sesosok tubuh kecil yang meringkuk di jok belakang sebuah mobil sedan.

Tubuh itu tenggelam dalam balutan selimut biru tua. Kepalanya tertunduk dengan mata yang mengintip takut-takut. Bergetar ketakutan. Entah karena apa. Ketakutan yang anehnha ikut menjalar ke seluruh titik syaraf di tubuh Donghyuck.

Dalam mimpinya, Donghyuck juga melihat banyak darah dan bayangan hitam. Tinggi menjulang di hadapannya begitu mengintimidasi. Bahkan berteriak pun dia tidak mampu.

Donghyuck melihat tubuh kecil itu ditarik keluar dari mobil oleh seseorang yang lebih tua darinya. Kaki-kaki itu dipaksa berlari di jalan aspal yang basah oleh hujan tanpa alas kaki. Bulir-bulir air jatuh menimpanya, hembusan angin menyibakan selimut yang menudungi kepala itu.

Donghyuck tidak bisa melihat wajahnya karena anak itu memunggunginya. Ia hendak memanggil sosok itu namun ia selalu membisu. Ingin lari mendekat tapi kakinya selalu terpaku di tempatnya berpijak.

Mimpinya selalu berakhir seperti ini.

Sebuah teriakan nyaring membelah udara. Menyaingi gemuruh petir di atasnya. Tubuh kecil yang berlari itu berhenti seketika, menoleh ke belakang. Wajahnya selalu samar namun amat familiar.

Mimpinya selalu berakhir seperti ini.

Teriakan itu semakin lama akan semakin nyaring. Membuat telinganya berdengung sakit. Rasa sakit yang seiring waktu berjalar ke seluruh tubuhnya. Sekelebat bayangan berputar di sekelilingnya dan ia melihat tubuh kecil tadi terhempas ke jurang.

Anehnya tubuh Donghyuck ikut terhempas dari jalan di pinggur tebing itu. Tertarik gravitasi menuju kegelapan di bawahnya. Suara petir dan teriakan nyaring seseorang masih menggema mengiringi jatuhnya.

Rasa panas yang familiar menyambutnya di dasar seperti meremukan tulangnya satu per satu. Dan ia berteriak.

AAAA

“—AAAARRGGH!”

Seperti yang sudah-sudah matanya terbuka cepat. Membelalak dengan pupil yang melebar dan peluh membasahi belakang punggungnya. Ia kembali memejamkan mata menetralkan nafas yang masih memburu.

“Dimana aku?”

Pertanyaan klise itu terlontar begitu saja saat matanya sudah lebih fokus. Kesadarannya memang belum sepenuhnya kembali, tapi Haechan tidak perlu berpikir lama untuk tahu kalau ia tidak sedang berada di pondok sederhananya.

Dan dia memang tidak seharusnya berada di pondok maupun berbaring di ruangan asing ini. Terakhir dia ingat dia sedang menjalankan misi di hutan—

“Hutan…”

Ingatannya malam itu mulai kembali. Dua sosok werewolf abu-abu dan coklat emas. Dan bola mata golden amber yang menyala di bayang-bayang hutan. Ya Tuhan.

Rasa panik merayapi tubuhnya dengan cepat. Pergerakannya buru-buru untuk bangun dan segera angkat kaki dari tempat antah berantah ini. Sprai sutera di bawahnya mengkerut berantakan. Bunyi berisik mengiringi gerakan kaki dan tangannya yang tak karuan.

Barulah saat itu ia sadar sebuah rantai melingkar di pergelangan kaki kanannya. Donghyuck kembali mengumpat dan rasa panik bertambah berkali-kali lipat.  Membuat jantungnya memacu kencang ia bahkan dapat mendengar detakannya dengan jelas.

You Can Call Me MonsterWhere stories live. Discover now