State VI

3.2K 477 80
                                    

Jika Donghyuck ditanya apa yang ingin ia tolak saat ini, ia akan menjawab takdir itu sendiri. Unutk pertama kalinya setelah kematian kedua orang tuanya, ia ingin menolak takdir yang diberikan padanya.

Donghyuck rasa sudah cukup langit memanggil kembali kedua orang tuanya saat ia masih kecil. Takdir tidak perlu merenggut sisa-sisa kewarasan dan realitanya seperti ini. Berapa kali jiwanya hancur di masa lalu? Dosa-dosa apa yang dilakukannya di masa lalu hingga menerima nasib seperti ini?

"Jangan bercanda," desisnya. Terpekur beberapa saat yang lalu, ia kini tertawa sinis seperti orang sinting.

"Mate? Maksudmu aku adalah pasangan dari makhluk hina semacam werewolf?" Donghyuck beranjak dari sofa. Rantai yang masih membelenggu pergelangan kakinya menimbulkan suara berisik saat ia berjalan mondar-mandir.

"Apa ini lelucon? Apa kalian sedang berusaha membodohiku? Atau ini hanya salah satu trik kalian para kaum serigala untuk menghancurkan kaum hunter?" tuntut Donghyuck berapi-api, gestur tubuhnya tidak tenang dan tampak risau.

Sosok yang bertanggung jawab atas kemelut di kepala Donghyuck hanya duduk diam dengan tangan bersilang di depan dada. Mata legamnya meniti tiap langkah yang makhluk mortal itu ambil. Mengamati bagaimana kelopak matanya bergerak tak tentu. Tangannya yang salin memilin dan sesekali kukunya yang ia gigit tak luput dari pengawasan Mark.

"Menyangkalnya tidak akan mengubah apapun," ucapnya datar.

Donghyuck menolehkan kepala. Amarahnya serasa dibakar melihat betapa tenangnya pembawaan laki-laki itu. Iris gelapnya yang menatap dalam pada matanya ingin ia congkel keluar dengan belati perak yang biasa ia pegang.

"Aku akan melakukan apapun, apapun, untuk mengubah takdir sialan ini," jawab Donghyuck dengan bibir bergetar.

"Kehilangan orang-orang yang kusayangi itu satu hal, aku bahkan akan menerima dengan senang hati sebuah penjara bawah tanah, dibandingkan ini."

Manusia itu berkata dengan api yang makin lama makin berkobar besar dalam tiap silabelnya. Penekanan yang sarat akan penolakan dan kebencian menghiasi seluruh kalimatnya.

"Tapi menjadi mate seorang werewolf? Mate mu!? Walaupun aku dilempar ke neraka aku akan tetap menolaknya!" teriak Donghyuck berang. Nafasnya berderu keras dari mulut dan lubang hidungnya.

Di tengah amarahnya yang meletup-letup, ia melihat iris emas itu lagi.

Hal itu berjalan singkat. Mata amber itu seperti bara api yang menyala keemasan. Seiring dengan tubuhnya yang berlutut di karpet beludru. Lehernya serasa tercekik ketika berusaha meraup oksigen.

Rasa panas terpantik dari dadanya menjalar ke seluruh tubuh seperti sengatan listrik. Donghyuck merasa setiap sel pada tubuhnya dibakar sampai lebur satu per satu. Tangannya mencengkram pinggiran sofa hingga kulitnya terkelupas.

Sepasang sepatu berjalan di permukaan karpet merah itu mendekatinya. Donghyuck mendongakkan kepalanya dengan susah payah. Ia melihat sepasang mata amber itu menatapnya, memaku tubuhnya di lantai. Donghyuck rasa ia berhalusinasi saat mata itu terlihat menatapnya nanar selama sepersekian detik.

Ia tidak akan berharap pada seorang werewolf untuk menaruh simpati padanya barang secuil pun.

"Menolaknya tak akan mengubah apapun."

Laki-laki itu menumpukan satu lututnya ke bawah. Tangan dinginnya membelai halus pipi Donghyuck yang basah karena keringat dingin dan air mata. Ia hendak menepis tangan itu namun apa daya energinya semakin terkikis. Ia hanya bisa menggeram dalam hati kala Mark menunduk mendekatkan bibirnya pada telinga Donghyuck, tangannya berali menyisir surai Donghyuck ke belakang.

You Can Call Me MonsterWhere stories live. Discover now