State V

3.7K 538 90
                                    

💣💣💣🙏🙏🙏
SPECIAL AUTHOR NOTE DI DEPAN KARENA LAMA GA UP

halo kalean this is a late up ik. ini agak lebih panjang so pls near with it heheheh (ada yang inget cerita ini gak 😂😂)

ENJOY~~

.
.
.



Perih.

Rasa sakit yang menusuk membangunkannya dari tidurnya yang dalam. Dia sudah kehilangan jejak waktu. Terlalu disibukkan oleh rasa nyeri yang berdenyut pada nadi di perpotongan lehernya.

Tubuhnya terasa hangat. Dan rasa sakit yang tadi menyengat berangsur-angsur menghilang, menyisakan rasa perih yang samar-samar. Pandangannya yang buram berangsur jernih setelah beberapa kedipan mata.

Donghyuck menatap kosong selendang cahaya perak yang merembes melalui lubang-lubang di atas jendela. Pikirannya masih di awang-awang sampai sekelebat memori menyerang kepalanya tanpa ampun. Membuat tubuhnya seperti disengat listrik bertegangan tinggi.

Badannya melonjak. Refleks penolakan terhadap ingatan yang dibencinya. Namun lagi-lagi, ia hanya mendapati tubuhnya oleng ke samping. Bunyik berisik belenggu rantai di kakinya membelah kesunyian malam.

Isi kepalanya kacau balau. Entah mengapa ia merasakan dorongan kuat untuk berteriak, memaki, menendang, dan mencakar apapun di sekelilingnya. Dengan tubuh yang masih lemah, ia hanya bisa mencengkram kuat-kuat sprei sutra di bawahnya sambil menggigit bibirnya geram.

Entah berapa lama waktu berlalu sampai ia akhirnya merasakan pipinya yang lembab. serat-serat halus yang melapisi bantalnya basah oleh cairan bening yang entah sejak kapan lolos dari matanya.

Ia merasa sedih. Frustasi. Marah. Yang lebih parah ia tidak tahu kenapa pula ia merasa sedih. Sedih yang teramat hingga dadanya sesak dan berdenyut nyeri.

isakan-isakan halus memenuhi kamar yang luas tersebut dan Donghyuck semakin membenci dirinya sendiri.

Aku ingin pulang.

Kembali ke pondok sederhananya yang kecil namun aman dan nyaman. Jauh dari spesies werewolf yang sangat dibencinya.

Tapi lihatlah sekarang. bertahun-tahun mengutuk keberadaan monster itu malah membawanya tepat ke sarang mereka.

Donghyuck kira Niflheim itu omong kosong. (well, tidak sepenuhnya. Tapi dia tidak pernah membayangkan mereka benar-benar punya dunia gaib dan istana, atau penjara, seperti ini) Dalam bayangan Donghyuck mereka itu masihlah makhluk liar primitif yang hidup di gua-gua. Oh, betapa naif dirinya sekarang.

Donghyuck terlalu sibuk meratapi nasib. Mengutuk dewa-dewa yang ada di muka bumi atas apa yang menimpanya. Terlalu sibuk hingga ia tidak menyadari bayangan hitam yang sedari tadi mengawasi gerak-geriknya dari sudut ruangan.





Papan kayu itu berderik nyaring terinjak sol sepatu bot yang sejak setengah jam terakhir berjalan mondar-mandir di ruangan yang dipenuhi rak buku. Garis tubuhnya kaku dan tegang. Mimik wajahnya gusar tidak tertutupi. Kepalan tangannya mengerat seiring berjalannya waktu.

“Tidak ada kabar?”

“Tidak.”

Satu kata itu bagai cairan asam yang diguyurkan pada wajahnya. Bibirnya melengkung getir ke atas. Tangannya kini beralih mencengkram kursi kayu yang sudah reyot. Seseorang di depannya memandang kursi itu khawatir ketika jaehyun terlihat akan menghancurkannya.

“Jaehyun—”

“Cari lagi—lebih keras. Aku tidak tahu, gunakan alat yang lebih canggih atau bagaimana. Cari. Sampai ketemu,” tiap kosa katanya ditumpahkan dari gigi-giginya yang mengerat. Ia seperti orang kesetanan.

You need to take a breath of fresh air, Cap.”

Postur Jaehyun sedikit melunak mendengar nada khawatir yang keluar lirih dari laki-laki berambut hitam di depannya. Namun itu tidak berangsur lama. Mata tajamnya kembali mengeras dengan intensitas yang berlipat. Tanpa sadar membuat tulang-tulang lawan bicaranya bergetar dan kakinya melemas.

“Tidak ada waktu untuk itu, Chittapon.”

“Jaehyun...” Chittapon—Ten, mengulurkan tangannya. Untuk apa, ia tidak tahu. Tangannya menggantung di udara sebelum menepuk bahu Jaehyun yang lebar.

“Aku tahu apa artinya anak itu untukmu, tapi kita masih berusaha. Kita akan menemukannya tenang saja.”

Jaehyun hampir jatuh dalam bujukan Ten. Sungguh. Senyum kecil ragu-ragu pada orang itu tampak tulus dan meyakinkan. Begitu juga binar simpati penuh pemgertian di mata besarnya. Ia hampir percaya kalau ia bisa membagi sedikit kegundahannya dengan Ten ketika pintu ganda dari kayu oak itu terbuka tiba-tiba.

Sekelebat bayangan masuk dengan langkah tenang namun penuh penekanan. Kekuasaan. Jaehyun memandang datar pada salah satu dewan direksi Venatici Gard yang berdiri elegan enam kaki dari ambang pintu.

“Maaf kalau aku mengganggu—”

Mata abu-abu itu bergulir penuh selidik pada tangan yang masih bertengger di bahu Jaehyun. Yang perlahan-lahan terangkat dan kembali ke sisi-sisi tubuh Ten.

“—dewan direksi akan menggelar rapat seperempat jam lagi. Kuharap seluruh tim dapat melaporkan perkembangan yang signifikan. Oh, dan Jaehyun—Yunho ingin bertemu denganmu.”

Datar. Monoton.

Semua itu dikatakan oleh Taeyomg seperti sedang membaca skrip. Ia seperti mengeja tiap huruf yaang tertulis di papan tak kasat mata. Jaehyun tidak mengalihkan pandangannya sama sekali ketika berjalan keluar pintu. ia tertawa hambar dalam hati menyadari bahwa sedari tadi Taeyong tidak pernah benar-benar menatapnya.

Melainkan pada pria berambut legam yang berdiri seperti patung dengan tangan bertaut di depan.

Jaehyun ingin tertawa keras-keras bagaimana Chittapon bersusah payah mengatur sedemikian rupa agar wajahnya tetap netral. Tapi matanya tidak bisa membohongi siapapun kalau ia ingin pergi jauh dari ruangan ini. Dan mungkin, Jaehyun merasa sedikit bersalah meninggalkan Ten di ruangan bersama seorang paling kaku di seantero jagad raya.

You Can Call Me MonsterWhere stories live. Discover now