State III

3.7K 532 75
                                    

Telinga Donghyuck berdengung seperti ribuan lebah yang mengitari sarangnya. Matanya mengerjap di kegelapan kamar berlantai kayu miliknya. Perlahan ia menumpukan badan pada sikunya sambil mengumpulkan kesadaran.

Mimpi buruk itu lagi.

Dengan langkah gontai ia berjalan menuju dapur mini di rumah kecilnya. Tangannya masih bergetar ketika menuang air dalam gelas bening yang ia ambil dari kabinet. Ia terduduk lemas di kursi kayu yang berderet pelan.

“Apa-apaan itu,” gumamnya lebih pada diri sendiri.

Mimpi buruk sudah bukan hal asing bagi Donghyuck sejak ia masih anak-anak. Namun entah mengapa akhir-akhir ini intensitasnya  bertambah dan menimbulkan reaksi aneh pada tubuhnya. Seperti sebuah api dinyalakan membakar tubuhnya dari dalam—dan kesadarannya.

Sudah berbulan-bulan ia selalu terbangun tengah malam dengan kondisi kehabisan nafas dan kepala yang seperti dihantam palu terus-terusan. Tulangnya juga serasa diremukan satu per satu.

Jaemin bilang mungkin karena stres yang berlebihan ditambah kegugupan Donghyuck  menjelang perekrutan hunter baru. Ia ingin sekali mempercayai ucapan Jaemin namun hati kecilnya berbisik ada sesuatu yang lain.

Helaan nafas panjang keluar dari mulut Donghyuck. Ia harus segera tidur, besok adalah misi perdananya. Tidak mungkin ia mengacaukan dengan tindakan konyol seperti terpeleset atau lebih parah hilang fokus sehingga menewaskannya karena kurang tidur.

Tidak. Itu tidak boleh terjadi.

Donghyuck menggeleng-gelengkan kepalanya. Kakinya kembali ia seret menuju kasur dan segera bergelung di sana. Menekan semua gangguan tidur menjauh dan memjamkan matanya rapat-rapat.

Dude, ada apa dengan lingkaran di matamu?” sapa Jaemin di pagi hari ketika lagi-lagi ia membobol rumah dan menjarah isi dapurnya.

“Kau ini memangnya tidak punya rumah? Atau sengaja merampokku?” gerutu Donghyuck sambil berlalu ke kamar mandi.

Ia tidak mendapat respon apapun dari Jaemin. Pemuda bersurai coklat itu tengah sibuk mengunyah roti gandum berlapis mentega. Beberapa butir beri tampak berkumpul di piring di sebelahnya. Berburu makanan di rumah Donghyuck sepertinya juga merupakan kerjaannya.

“Kau masih suka bermimpi buruk?” Jaemin bertanya begitu Donghyuck menapakkan kaki keluar kamar mandi. Handuk kecil mengalung di lehernya.

Satu alis Donghyuck menukik, tapi matanya tidak lepas dari cutting board yang diatasnya sudah dihuni irisan kiwi dan apel. Matanya berkeliling mencari roti gandum yang sebenarnya hanya berjarak satu kaki dari tempatnya berdiri. Ia butuh pengalihan.

“Tidak apa kalau kau tidak mau membicarakannya,” lanjut Jaemin, matanya kini menyisir penampilan Donghyuck seperti mesin scanner.

“Jangan menatapku seperti itu.”

“Kau gugup.”

“Siapa bilang?”

“Tanganmu bergetar—dan itu garam yang kau masukkan ke mangkuk.”

Donghyuck mengumpat. Asal-asalan ia membuang isi mangkuk yang berupa irisan kiwi, apel, dan biji granola ke tempat sampah. Ia menyerah membuat sarapan dan beralih meminum susu yang tadi dituang Jaemin.

“Kenapa kau kemari?”

“Apa yang kau khawatirkan? Kau salah satu yang terbaik di angkatan kita. Rekomen cemerlang, kawan,” respon Jaemin sama sekali tidak nyambung.

You Can Call Me MonsterWhere stories live. Discover now