Sebelas

969 34 7
                                    

Aku mengendarai mobil dengan kecepatan sedang, kota Bandung tidak sepadat Jakarta. Membuat aku sangat menikmati perjalananku kali ini.

Dasar bos sialan, mempercayaiku untuk menghadiri acara perkumpulan editor se-Jakarta dan Bandung. Membuat aku harus meninggalkan adik tercintaku. Bagaimana aku bisa menjaganya sedangkan aku jauh darinya.

Tapi, setidaknya untuk saat ini dia bebas dari David. Pria itu pasti masih dalam perawatan dokter dan keluarganya pasti sibuk mencari tahu orang yang mencelakai David. Untunglah aku cerdas, dengan memanipulasi identitasku pada orang suruhanku.

Biarlah aku mengorbankan Edward, lagipula dia sudah membuatku kesal kemarin. Jadi, ini setimpal bagiku.

Dering ponselku membuat aku tidak fokus, dengan segera aku mengangkat telfon dari orang tidak penting ini.

"...."

"Ada apa?"

"...."

"Yasudah biarkan. Tapi ingat! Jangan pernah kasih nomor telepon saya ke siapapun, kalau perlu kamu hapus kontak saya di hp kamu. Jangan sampai siapa pun tahu kontak saya."

"...."

"Tenang saja. Uangnya sudah saya transfer semalam."

"...."

"Iya, lima puluh juta. Kalau kamu berhasil tutup mulut, saya tambah sepuluh juta."

"...."

Aku mematikan sambungan telepon dengan sepihak.

Rupanya polisi jakarta sangat cepat dalam menangani kasus seperti ini. Orang suruhanku sudah tertangkap hanya dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam. Dasar payah.

Apakah kalian bingung darimana aku mendapat uang sebanyak itu sedangkan pekerjaanku hanya sebagai editor?

Haha, kalian tahu aku cerdas.

Untung saja tabungan ayah di kartu ATM-nya masih banyak, jadi bisa aku manfaatkan untuk keperluanku.

Masih tanya mengapa aku bisa mengakses kartu ATM almarhum ayahku?

Kalian sudah tahu jawabannya. Aku cerdas.

****

Aku masih memandang atap putih yang membosankan, bau obat-obatan sangat tidak nyaman di hidungku. Belum dua hari saja rasanya seperti sudah satu minggu berada di ranjang tempat orang sakit ini.

Bagaimana ya kabar Dea?

Apa yang sedang dia lakukan sekarang?

Aku merindukan gadis impianku itu, aku ingin segera pulang dan menemuinya, lalu mengajaknya menemaniku mencari udara segar atau tempat beraroma menyenangkan. Tetapi, mengingat Dea, pikiranku tertuju kembali pada beberapa kejadian tidak menyenangkan yang gadis itu lakukan padaku.

Begitu besar kah rasa bencinya padaku?

Pria yang membuat masa kecilnya tidak bahagia. Selalu dirundungi rasa kesal dan bersedih karenaku.

Sampai kapan dia akan terus seperti ini? Padahal aku mencintainya dengan tulus. Aku ingin menjaganya, menebus kesalahanku di masa kecilnya dulu.

Pikiranku teralihkan ketika pintu ruangan terbuka, menghadirkan sosok pria tinggi berkulit pucat. Itu adikku.

Aku menatapnya lamat-lamat. Hans terlihat tengah menahan amarahnya. Lantas aku bertanya.

"Kenapa Hans? Itu muka lo lebam kenapa? Habis berantem sama siapa lo?" tanyaku perhatian saat melihat ada lebam biru di wajah bagian kirinya.

When Psycho Fallin in LoveWhere stories live. Discover now