Enam Belas

700 29 8
                                    

Malam ini mungkin akan menjadi malam yang indah bagiku. Mengadukan dua orang yang saling benci, dan keduanya aku benci. Aku telah mengirim pesan pada Edward dan David untuk menemuiku di depan gedung bekas mall yang tidak lagi terpakai.

Sudah setengah jam berlalu dari waktu yang kuminta. Mungkin saat ini, mereka sedang saling pukul. Atau bahkan sudah ada yang mati. Ah, tidak sabar rasanya untuk mengeksekusi kedua orang bodoh itu.

Aku bersiap untuk pergi ke tempat itu, ingin melihat sudah seperti apa mereka sekarang.

Aku mengambil jaket jeans hitam dari dalam lemari, lalu aku kenakan dengan cepat. Ponsel telah tersimpan di saku celana. Kunci mobil juga telah berada di tangan kiriku.

Aku melewati ruang makan saat Ibu dan adikku bersiap untuk makan malam kali ini. Mereka dengan kompak memandangku.

"Kamu mau kemana malam-malam begini?" tanya Ibu sopan.

"Harry ada janji ketemuan sama temen SMP bu." Ujarku bohong.

"Nggak makan dulu kak?"

"Enggak deh, palingan nanti juga makan di sana."

"Yasudah, hati-hati ya nak. Pulangnya jangan terlalu malam."

Aku hanya mengangguk. Lantas dengan cepat mengeluarkan mobilku dari garasi. Dengan laju diatas delapan puluh kilometer perjam aku mengemudikan mobil di jalanan yang sudah mulai menyepi. Meskipun masih banyak orang yang tengah mengerumuni para penjual di pinggir jalan.

Sampai saat mobilku berhenti di lampu merah, suara ponsel dari dalam saku celanaku berdering.
Aku mengambilnya. Tertera nomor tidak di kenal di layarku. Aku mengabaikannya, tidak penting.

Lampu lalu lintas sudah kembali berwarna hijau, aku kembali menancapkan gas. Kali ini lebih santai. Sebab keadaan jalanan masih lebih ramai daripada jalanan di sekitar kompleks.

Ponselku berdenting kali ini. Dengan tangan kiri aku mengambil dan membuka layar yang terkunci itu. Ada satu pesan masuk.

082356816xxx

Angkat telfonku Harry, ini penting!

Keningku refleks berkerut. Nomor ini adalah nomor yang tadi meneleponku. Siapa pemilik nomor ini? Dia tahu namaku, dan dia bilang penting.
Sepenting apa sampai aku harus mengangkat teleponnya?

Ponselku kembali berdering dalam sepuluh detik. Aku kembali menimbang, apa aku harus menerima telepon dari nomor tidak dikenal ini?
Tapi, siapa tahu ini memang penting.

Aku men-swipe bulatan hijau ke arah kanan. Dalam beberapa detik lamanya, tidak ada suara apapun dari sana.

"Hallo!"

"...."

"Ini siapa? Jangan main-main denganku!"

Masih tidak ada jawaban dalam beberapa menit berikunya. Sialan! Sepertinya aku tengah dikerjai.

"Selamat malam Harry Edward Vallen. Bagaimana kabarmu?"

Orang ini mengetahui nama lengkapku, tetapi aku sama sekali tidak pernah mendengar suaranya. Suara ini benar-benar asing untuk orang dengan ingatan kuat sepertiku.

"Siapa kau?"

"Kau benar mau tahu siapa aku?"

Dengan amarah yang mulai tersulut karena merasa tengah dimainkan, aku menepikan mobilku.

"Tolong jangan permainkan aku!"

"Sayangnya aku ingin bermain-main denganmu Harry. Karena kau yang telah memulai permainan ini."

When Psycho Fallin in LoveWhere stories live. Discover now