Empat Belas

714 28 10
                                    

Aku masih menunggu kepulangan teman-temanku setelah mereka berhasil membalaskan dendamku pada si pucat. Sementara aku lega.

Namun juga lebih stress memikirkan  fakta yang baru aku dapat dari Gideon saat dia menelfon tadi. Kaela, gadis itu. Aku menganggapnya tidak serius dengan ucapan terakhirnya tadi pada teman-temanku, ‘sampaikan salam benci gue sama Ed.’ Dan aku harap itu memang tidak serius, aku tahu betul bagaimana dia kalau sudah marah. Pikirannya tidak akan panjang menatap apa yang ia lakukan dan ucapkan itu akan berisiko besar.

Saat suara derung motor mulai masuk ke halaman rumahku, denting ponsel membuatku mengalihkan perhatian pada benda yang tergeletak di atas meja itu.

Rexa yang tengah duduk di sofa sedikit melongok untuk melihat notifiikasi pesan itu dari siapa, aku yang menyuruhnya.

“Kaela, Ed. Gawat ini, pasti dia marah besar!”

Aku menghela nafas kasar, mencoba bersikap sejawar mungkin untuk mengalihkan pertanyaannya yang mungkin akan sangat memojokkanku tentang masalah ini. Atau mungkin berpura-pura tidak tahu.

Langkahku cepat, cukup penasaran dengan isi pesannya kali ini. Aku meraih ponsel putih tanpa pelindung case dan membukanya yang langsung masuk ke ruang pesan aplikasi Line. Ah ya, sedari tadi aku sedang menunggu balasan pesan dari Kak Harry, bagaimana aku bisa lupa.

Mikaela Putri :
Gue tunggu lo di rooftop kafe Cemara, jam delapan malam. Nggak lebih sedetikpun.

DAMN!

Sepertinya kali ini emosi Kaela tidak bisa ditahan lagi. Aku mengusap wajahku gusar. Lalu mengambil jaket kulit yang tergeletak di sofa. Kali ini aku harus bisa membujuknya dan membuat dia percaya padaku, bukan pada si kulit pucat itu.

Langkahku terhenti saat Adam dan yang lainnya masuk, tepatnya menghalangi jalanku. Tatapan mereka menyiratkan keheranan, senang, dan..., ekspresi yang tidak bisa aku artikan di wajah Adam.
“Lo mau kemana?”

“Kaela nyuruh gue nemuin dia, gue yakin pasti dia mau marah-marah. Tapi gue nggak mau kehilangan sahabat gue gitu aja dan dia jatuh ke tangan musuh gue.” Jawabku yang mungkin agak berbelit membuat dua temanku mengerutkan dahi. Tapi Adam tidak, mimiknya masih sama seperti yang terakhir aku lihat.

“Tolong bilangin sama dia, gue minta maaf.”

Kali ini aku yang sempat mengerutkan dahi karena tidak mengerti apa yang dia maksud. Lebih tepatnya, mengapa Adam harus meminta maaf pada Kaela? Aku tidak tahu dua orang ini ada hubungan, bahkan aku tidak tahu bahwa mereka saling mengenal baik.

Tetapi aku mengiyakan, tidak berniat membuang waktuku untuk terus bertanya. Tujuanku sekarang hanyalah satu, menemui Kaela dan menjelaskan semuanya. “Oke, gue pergi dulu.”

🍃🍃🍃

Harry masih menggandeng tanganku saat kami keluar dari bioskop. Entah apa tujuannya, tetapi aku memaklumi. Mungkin dia takut adik kecilnya ini lari ke sana ke mari saat melihat balon atau sekumpulan orang yang tengah asik berguaru. Hei, tapi aku sudah besar. Aku tidak akan melakukan hal seperti itu lagi.

Harry terkadang masih sangat protektif, seolah aku ini adik kecilnya yang masih ingin di gendong ketika merajuk. Aku membiarkan itu.

Langkah kami pelan dan pasti, menuju parkiran untuk mengambil mobil. Beberapa orang yang kami temui memandang lekat ke arahku, mungkin yang ada di pikiran mereka adalah ‘pasangan serasi’ atau ‘romantisnya pasangan itu’. Euh, jauh dari realita.

Harry tak kunjung melepas genggamannya meskipun kami telah sampai di depan mobil, aku memandangnya heran. Namun, Harry justru berjalan menuju pintu penumpang dan membukakannya untuknya, menyilakan aku masuk bak aku ini putri raja. Menurutku, ini sangat... manis. Sekali lagi, aku tidak mengerti apa maksudnya seperti ini. Tidak biasanya.

When Psycho Fallin in LoveWhere stories live. Discover now