MAYA MAYAPADA

74 1 0
                                    

Pagi ini masih sama seperti kemarin. Hujan masih mengorek semua cerita dibalik kenyataan. Gemuruh petir menyayatnya perlahan. Tubuhnya yang lunglai diatas ranjang, rambut halusnya tak lagi terlihat rapi. Bantal basah sana sini. Ia merintih menahan sakit. Riuh angin menghempaskan kelambu dibilik jendela kamar. Semua benda berhamburan tak aturan. Disana sini seolah menjadi saksi bisu kejam dan sakit hati serta dendam yang masih menggelora jauh didalam relung hati. Mereka bernada memaksa. Hanya bisa mengamati tanpa berbuat apa-apa.

Tumbuhnya diam menggigil. Baju menjadi kusut, kulit tubuhnya lebam membiru. Ia berteriak sekali-sekali dibalik bantal dan mengigitnya setiap kali tubuhnya mengeram sakit. Ia menangis sejadi-jadinya. Tepat dipagi yang buta. Tanpa ada aba-aba dari alam. Ia masih bersama dengan cerita tanpa narasi. Retorika tanpa logika. Ia bernarasi tanpa deskripsi. Lalu ia memamah semua dalam diam ditiap pesakitan.

***

"Berapa kali ibu bilang. Kau adalah bencana untuk ku. Seharusnya aku membunuhmu ketika kau keluar begitu saja dari rahimku. Tapi kenapa tatapan matamu membuatku menghentikan niatan ini." Alisah bergumam keras didalam kamarnya.

"Hidup sendiri tanpa siapapun yang turut simpati kepadamu. Kau hanya cacian dihadapan teman-temanmu anakku. Kau adalah bencana buat mereka. Tapi biar bagaimanapun, Ibu selalu mencintaimu."

Selama beberapa tahun Alisah merasa penyesalan yang sangat besar. Ia selalu menyalahkan dirinya atas dosa besar.

"Ibu sudah waktunya makan malam. Maya sudah siapkan makanan dimeja." Ia mengetuk pintu dimana perempuan itu ada didalam. Lama tak ada jawaban dari dalam, Maya kembali memanggil ibunya.

"Ibu..."

"Maya tidak akan makan tanpa ibu. Ibu ayo keluar. Sudah dari tadi ibu mengunci diri di kamar. Apa ada salah dari maya bu...?" tiba-tba Maya pun mulai meneteskan air mata.

Tak lama pintupun terbukka. Alisah mengusap matanya. Dan membangunkan Maya yang duduk dihadapannya dengan isak tangisnya. Jarak usia yang sangat dekat. Dengan ketaksiapan bagaimanapun Alisah harus menerima Maya sebagai anak yang seharusnya ia panggil Adik. Iya, Maya adalah anak dari kakeknya. Alisah yang tanpa pengetahuan apapun merawat dan membesarkan bayi kecil. Ibunya meninggalkan ia tanpa alas an yang tak masuk akal. Tinggallah ia seorang dengan ayahnya. Tepat diusia 14 tahun, Alisah melahirrkan Maya. Ayahnya meninggalkan Alisah begitu saja tanpa merasa bersalah. Tanpa penyesalan sedikitpun.

Berulang kali Alisah terngiang jelas, kesakitan dan kebencian yang amat dalam ia rasakan. Bayi malang itu menjadi pelamiasan besar amarah Alisah. Ia sangat membenci bayi itu. Ia sangat mencintai bayi itu. Sesekali Alisah ingin membunuhnya. Sesekali pula Alisah ingin memeluknya dengan erat dan menciuminya. Kini Maya dipelukannya.

"Ibu sangat menyayangimu." Alisah memeluknya dengan erat.

"Ibu, jangan buat Maya khawatir. Usia Maya sudah 14 tahun. Maya sudah mandiri. Maya sudah ampu mengerjakan semuanya sendiri. Jika Maya memiliki salah sama ibu, tolong bu jangan hukum Maya seperti ini. Maya hanya memiliki Ibu." Maya masih dalam pelukkan Alisah, semakin kencang dan erat Maya memeluknya.

Alisah hanya menganggukkan kepala. Dan menenangkan Maya dengan belaian lembut dikepalanya.

****

Siang itu. Alisah menyibukkan dirinya di dapur, menyiapkan makan siang sebelum Maya pulang. Akan tetapi, pintu terdengar dengan ketukan tak wajar. Dengan ritme yang lebih cepat dari biasanya. Alisa bergegas menghampiri.

"Maya...!!!!"

Maya pulang dengan tubuh yang dipenuhi dengan air selokkan. Seragam putihnya terlihat hitam pekat. Maya menangis tanpa suara.

"Apa yang terjadi?" Alisah menggeret tubuh Maya menuju kamar mandi.

"Katakan sama ibu apa yang terjadi?" Maya tak mengeluarkan satu katapun dari mulutnya.

"Apa ini perbuatan teman-temanmu di Sekolah?" Alisah membentak geram dengan wajah merah dan menguyur Maya dengan luapan emosi.

"Ibu tidak akan memaafkan perbuatan mereka. Katakana siapa namanya?" Maya masih diam. Tatapannya kosong. Tapi, mata itu masih memerah dan basah.

"Sudah berapa kali Ibu bilang. Kau hanya cacian untuk teman-teman mu. Lebih baik kamu tidak usah pergi ke sekolah saja. Diam sama Ibu dirumah." Alisah membersihkan tubuh Maya dan menggosoknya dengan sabun. Menggosoknya dengan keras. Tubuh Maya tanpa disadari Alisah memerah. Maya tak merasakan sakit sedikitpun. Kali ini hatinya jauh lebih sakit.

Kali ini Maya bersuara.

"Salahku apa bu? Kenapa mereka dan orang-orang banyak yang menghinaku? Beri tahu Maya bu. Maya salah apa?" pertanyaan Maya membuat Alisah lemas. Nafasnya kembali tak beraturan. Ia terjatuh dari tempat ia berdiri. Maya terkaget dan menolong Ibunya.

"Ibu kenapa?" Mata Alisah basah.

"Maafkan Ibu anakku. Maafkan ibu..." Maya memeluk Alisah. Tangisan Alisah terdengar sangat keras. Maya mencoba menenngkan Ibunya.

***

Maya,

Aku sama sekali tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Cerita apa yang aku alami ini. Usiaku masih sangat kecil tapi aku didewasakan oleh cerita dan kisah yang tak jelas adanya ini. Aku masih disini, bersama ibuku. Yang terkadang terlihat menakutkan, dan terkadang pula Nampak manis dan lembut.

Aku sama sekali tidak tahu dan melihat Ayahku. Tubuh lelaki yang seharusnya dulu menuntunku berjalan. Sesosok lelaki yang datang tiap kali ada rapat di sekolah. Yang mencari nafka buat kami. Tapi ini semua yang melakukan adalah ibuku. Ia bekerja menjadi seorang penjahit dirumah. Banyak yang suka dengan hasil jahitan Ibuku. Harganya pun sepadan dengan hasilnya. Aku sedari kecil melihatnya rajin membuat pola. Dengan tali ukur melingkar dilehernya. Dia perempuan hebat...

Saat itu masih sama, matahari hanya beda tak sepanas biasanya. Kering, angin yang berhembus disekitar terasa kering. Sembari daun menguning, perempuan itu melihat wajahnya dicermin. Ia menyentuh kerutan halus diujung matanya. Dipenghujung pekan ia tak pernah mengisi dengan liburan atau hanya keluar hanya untuk melihat dan menikmati halaman depan rumah. Rumahnya selalu tertutup dan terkunci rapat, jendela hanya terbuka waktu pagi dini hari saja. Menjelang matahari hampir berada diatas kepala, jendela dan kelambu mulai ditutup. Ia menutup usaha jahitannya dan mulai membuka pagi. Akan tetapi terkadang ia menyibukan dirinya dirumah yang kurang cahaya itu dengan menjahit baju-baju pesanan orang sekitar.

Tak jauh terdengar derab langkah yang dari arah belakang. Maya keluar dari kamarnya dan melihat ibu nya yang sedang menjahit dengan jarum ditangannya. Maya mendekatinya, dan mendekapnya dengan lembut dari belakang.

"Ibu.. di hari minggu ini. Maya ingin sekali duduk berdua dan mendengarkan cerita-cerita Maya waktu kecil. Kita berbicara, kita bercerita lagi. Sekarang Usia Maya sudah hampir dewasa. Hinaan dan cacian yang Maya terima 3 tahun lalu Maya sudah bisa menjawabnya dengan bijaksana, hingga mereka tidak lagi menghinaku."

Alisah tdak menunjukkan ekspresi apapun.

"Ibu, dulu Maya ingat kenapa ibu minta maaf ke Maya. Lambat laun Maya memahami cerita ini. Yang walaupun ibu tak pernah bercerita ke Maya. Maya sangat menyayangi Ibu. Maya akan tunjukkan bahwa Maya bukanlah bencana buat Ibu. Maya tiap kali mencoba untuk hidup senormal mungkin, seperti orang-orang lain pada umumnya. Seperti remaja pada umumnya. Merasakan jatuh cinta. Merasakan kegembiraan dimasa mudanya."

Alisah menjatuhkan air yang menggenang yang ia tahan untuk tidak keluar dari matanya.

"Maya sangat menyesal tidak bisa membuat ibu bahagia selama ini. Maafkan Maya bu."

Alisah menangis tanpa suara. Hanya terdengar hela nafas yang tak lagi teratur. Maya melangkahkan kakinya untuk segera melihat wajah perempuan yang sangat ia cintai. Maya memeluk ibu nya dengan erat.

"Maya, maafkan ibu. Kau harus merasakan kebahagian yang jauh lebih indah dari ibumu ini. Berbahagialah kau anak ku. Tidak seharusnya kau merasakan kejamnya dan pahitnya hidup. Kau harus tetap suci anakku."

Alisah menghunuskan gunting yang ia pegangn erat ke punggung Maya. Tak selang ia melihat tetes terakhir airmata Maya, Alisah menusuk perutnya dengan benda yang sama.

"Kita akan bahagia bersama selamanya anakku. Aku menyayangimu." 

JALANGWhere stories live. Discover now