JERUJI

51 1 0
                                    

Kabut tipis kala senja itu menjadikan sebuah tanya yang tiada jawaban satupun. Mereka menjadikan dirinya mengembun, basah dan kering oleh angin. Begitu juga pelangi, dimana nalar tak bisa terbendung, tujuh warna membias dalam cahaya sebuah cerita berkias. Anomali puisi berdiam diri saja disudut mimpi. Kini wajah-wajah itu tenggelam oleh sudut mimpi. Terbagi cerita dan bait narasi dalam jeruji.

"Mungkin menjadi indah dihadapanmu tidaklah semudah itu ibu. Tapi kau akan tetap indah meski lebam sering mangkir ditubuh ku tanpa sebab dan musabab." Hati kecilnya hanya bisa berkata dalam hati. Sementara wajah dan tubuhnya memerah. Matanya basah deras dengan airmata.

Malam itu, ketika jiwanya tak lagi utuh. Serambi menemukan jatidiri yang tak pernah diam pada titik yang sama. Berganti warna beriringan lambat hembusan angin. Berganti cuaca seiring gadah perang dihentakkan. Malam yang itu tiba-tiba pecah oleh suara gaduh, diruang tengah.

"Perempuan kurang ajar. Tidak tahu diri. Berani-beraninya kamu membeberkan semua aib yang aku miliki. Itu semua aku lakukan demi keluarga ini. Enyah kau dimakan nasibmu, jika aku tidak memungutmu dan anakmu itu. Mungkin kau sudah jadi gelandangan sekarang. Lihatlah, usiamu sudah bertambah tua. Wajahmu sudah mulai mengeriput. Kau tidak bisa ditawar dengan harga tinggi saat ini. Mau minta tolong kesiapa kau sekarang, kalau tidak padaku." Ini adalah suara Budhe Sri. Germo besar didaerah lokalisasi di desaku. Orang-orang banyak yang memanggilnya Budhe. Orang asing sekalipun. Nama sebutan ini sudah amat terkenal di sekitar komplek bahkan diluar daerah sekalipun.

"Aku minta maaf Mbak Sri, tidak seharusnya aku berkata seperti itu. Tapi jujur, sama sekali aku tidak ada niat buruk seperti itu." Ketika suara itu muncul, aku mengintipnya dari lubang kecil pintu kamarku yang berada tepat berada didepan ruang tengah. Saat itu aku melihat perempuan yang aku panggil ibu terbujur lemas dengan rambut acak-acakan. Dan wajahnya yang kusut.

"Munafik. Kenapa selalu berpura-pura. Apa? Agar dikasihani? Tidak Mir. Untuk saat ini, kau sudah keterlaluan. Perempuan tidak tahu terimakasih." Aku masih melihat cek cok antar kedua wanita itu. Kali ini aku menyaksikan sendiri, ibuku ditendang cukup keras oleh kaki yang berukuran cukup besar penyeimbang badan yang besar pula.

Ibuku mengeram kesakitan. Tendangan kakinya tepat mengenai uluh hatinya. Wajah Ibuku memerah, menahan. Ia tergolek lemah tak berdaya diatas lantai. Dan ia hanya masih sama dengan isak tangisnya. Mataku masih menatap kejadian itu tanpa kedip. Entah, aku hanya bisa menyaksikan saja, tanpa ingin menolongnya atau bahkan menghentikan kekerasan yang dilakan Budhe Sri ke Ibuku.

"Kemasi barangmu. Aku tidak ingin melihatmu lagi dengan anakmu disini. Besok, sebelum matahari muncul. Usahakan aku tidak melihatmu lagi. Dengar perkataanku ini baik-baik." Sekali lagi Budhe Sri menendang perut Ibuku.

Entah kenapa juga, tubuhku menggigil kedinginan. Tubuhku gemetar. Seolah kaku, untuk melangkah menjauhi pintu rasanya berat. Suara derap langkah itu semakin mendekati kamarku. Pintu terbuka, tepat dimana aku berdiri dibelakangnya. Ibuku menangis memeluk ku. Seolah ia ingin meminta maaf padaku. Aku sendiri tidak tahu, atau hanya kesalahfahaman ku saja atas penafsiran pelukan ini. Suara tangisannya seolah ada rasa sesal yang sangat dalam, atas semua kesalahan yang ia lakukan kepadaku. Dan aku pun tidak tahu, atau hanya kesalahfahamanku lagi atas eraman tangisannya. Tubuhnya semakin kuat memelukku, seolah berkata meminta tolong kepadaku. Tapi sekali lagi aku tidak tahu, apakah ini hanya kesalahfahamanku saja atas tafsir eratnya pelukan ibuku. Aku hanya diam tanpa verbal satupun aku keluarkan. Hanya saja, aku membalas pelukannya dengan balasan pelukan pula. Tentunya dengan perasaan yang entah aku sendiri tidak tahu, dan tidak bisa menafsirkan perasaan ini. Yang paling jelas, aku kasihan saja. Untuk cinta, Ibuku sama sekali tidak pernah menunjukkan cinta itu seperti apa. Bagaimana menyayangi. Itu semua aku tidak tahu. Kasih sayang, dan para serdadu keindahan yang biasanya dirasakan anak sejawatku, aku tidak tahu apa-apa tentang ini. Buku-buku yang aku bacapun hanya lewat dari mata, ke mulutku, ke otak ku setelah itu dia diam di otak. Sehari dua hari lenyap. Novel tentang percintaan remaja, aku sangat membenci kisah percintaan itu. Terlebih puisi menye-menye yang terisi cinta yang sok-sok an, berkorban untuk pacarnya. Ah cerita semacam itu aku sangat membencinya.

"Dunia ini seolah kutukan saja, aku akan membalas semua pelecehan yang ia berikan kepadaku." Begitu kata-kata itu keluar dari mulut ibuku, tepat saat itu juga aku ingin melemparnya dari pelukanku sekarang juga. Sudah bisa ditebak sedari tadi. Bukan ibuku, tapi aku yang salahfaham atas pelukan, isak tangisnya, dan pelukan eratnya.

"Kau juga...!!" dia melepaskan pelukanku. Untung saja bukan aku yang melepasnya, karena aku hanya merasa kasihan yang jauh lebih besar sedikit dari benciku.

"Kau ini anak kurang ajar. Seharusnya kau menolong Ibumu. Apa kau terima perlakuan yang ia lakukan ini?" Entah kenapa sedikit ada perasaan senang ketika melihat ibuku dianiaya seperti itu. Tapi jelas, rasa kasihanku jauh lebih besar dari senangku.

"Kenapa kau diam saja? Anak Bodoh. Kau ini sudah menunjukkan bahwa kau anak Bodoh tak berperasaan?" Sudah dibilang, aku sama sekali tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Sepertinya aku ingin menanyainya, apakah kau mengajariku rasa simpati dan empati? Tapi aku masih diam.

Tangannya menarik dan menjambak rambutku dengan penuh rasa benci dimatanya. Aku hanya belajar dari ini. Aku tidak tahu keindahan. Ini yang ada dihadapanku setiap harinya.

****

Sebelum matahari terbit, kami harus meninggalkan rumah dan kompleks lokalisasi ini jauh-jauh. Kami membawa tas berat, berisi pakaian. Kami dijalan yang entah akan berhenti dan singgah dimana. Tiba dijalan yang padat dengan lalu lalang kendaraan. Aku lihat jam dijalan raya saat itu pukul 7 pagi. Saat semua orang mulai beraktifitas.

Aku melihat ibuku memegangi perutnya, sepertinya ia lapar. Entah kenapa aku hanya diam saja. Mau beli makanan apa? Kami tidak memiliki uang sepeserpun. Dan entah kenapa pula aku tidak merasakan rasa lapar sama sekali. Berkalil-kali tepat disampingku ibu menghinaku. Karena dianggapnya aku adalah pembawa sialnya. Rasanya telinga ini mulai memanas, tapi amarah yang entah aku sendiri tidak bisa melampiaskannya hanya aku tahan saja di dada. Rasanya berkecamuk. Berulang kali ia membuatku seperti ini. Tak lama aku meninggalkan ia keseberang jalan. Sesekali aku tolehkan kepalaku menuju kearahnya. Yang masih terdiam ditempatmya dengan memegang perutnya. Aku hanya melihatnya dari seberang. Tak lama, tiba-tiba berhentilah langkah kaki pejalan kaki dihadapanku.

"Makanlah ini nak. Ambillah..." hanya menyerahkan bungkusan nasi kemudian meninggalkanku. Lelaki setengah baya berambut putih berkemeja itu entah turun dari langit keberapa, sungguh ia orang yang cukup dermawan.

"Terimakasih pak.." Ia meninggalkanku tanpa membalas senyuman dan ucapan terimakasihku.

Ketika aku membuka bungkus nasi itu, dan mencari tempat nyaman untuk duduk. Aku mendengar suara keras menghantam, semua pejalan kaki berteriak histeris. Aku tidak memperdulikan itu. Tapi sekelibatan aku melihat warna baju yang sama diatas aspal. Aku tolehkan, dan mempertajam pandanganku untuk melihat kearahnya lebih dekat. Ternyata ia perempuan yang selalu merajamku, dan mencaciku terus-menerus. Aku melihatnya terkulai dengan penuh darah, dan tawa yang begitu saja keluar dari mulutku, aku tertawa sekencang-kencangnya. Dengan air mata yang mengucur deras dimataku. 

JALANGOnde histórias criam vida. Descubra agora