7 | Perpustakaan Nasional

48.9K 8.1K 548
                                    

7 | Perpustakaan Nasional




Aksa serius dengan ajakan spontannya ke Perpustakaan Nasional.

Dhisti terheran ketika lelaki itu serius. Dimulai saat Aksa mengirim chat untuk mengingatkan bahwa mereka akan ke Perpusnas, lalu berlanjut hingga Aksa bertanya apa Dhisti ingin dijemput, Dhisti baru yakin bahwa ajakan itu memang sungguhan.

Jelas, Dhisti tak ingin dijemput. Orangtuanya bisa kaget dan curiga jika tahu dia dijemput lelaki dan hanya akan jalan ke Perpusnas berduaan saja. Dhisti tak ingin itu terjadi. Sehingga dia berjanjian dengan Aksa untuk bertemu langsung di Perpusnas saja. Mereka janjian di Perpusnas daerah Salemba.

Jujur, ini kali pertama Dhisti pergi hanya berdua saja dengan lelaki. Semalaman, jantung Dhisti berdebar dan otaknya tak berhenti memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di Perpusnas nanti. Sampai-sampai dia baru bisa terlelap jam satu malam—jauh sekali dari jadwal jam tidurnya yang biasa yakni jam sepuluh malam. Dhisti benci ini. Dia tak ingin terus-menerus memikirkan Aksa. Kenapa pula lelaki itu harus mengajaknya? Kenapa tak mengajak temannya yang lain saja?

Akhirnya setelah berhasil tidur dan bangun keesokan paginya, kepala Dhisti masih harus dipenuhi dengan pertanyaan: baju apa yang harus dia pakai? Sungguh, Dhisti merasa konyol. Untuk apa dia memusingkan baju apa yang harus dia pakai hari ini, di saat biasanya saat berjalan bersama teman-temannya, Dhisti tak terlalu memedulikan penampilannya?

Pada akhirnya, Dhisti memilih mengenakan celana denim dan blus cokelat dengan potongan lengan yang seperti balon. Saat tadi memilih baju, ibunya sempat memberi saran untuknya memakai terusan santai dengan motif bunga-bunga vintage yang pernah sang ibu beli. Namun, Dhisti agak malu mengenakan baju terusan itu. Terlalu feminin. Dhisti tak biasa mengenakan baju terusan yang terlihat manis dan sangat feminin seperti itu. Dan jika Dhisti mengenakannya, selain dia tidak pede, dia juga bisa merasa dia mengenakan terusan itu karena ini adalah momen spesial. Dhisti tak mau jalan berdua dengan Aksa ke Perpusnas ini dia anggap spesial. Dia mau merasa biasa saja menanggapi jalan berdua ini. Tak perlu berdebar-debar atau dispesialkan.

Ketika sudah sampai Perpusnas, Dhisti mengecek chat Aksa. Lelaki itu sudah datang duluan. Kini dia menunggu di depan pintu masuk.

Melangkah menuju pintu masuk, Dhisti melihat sosok Aksa mengenakan jaket bomber cokelat dengan kaus putih di dalamnya. Aksa masih fokus menekuri ponselnya, sementara Dhisti terpaku di tempat.

Meski sudah sedari awal Dhisti sadar akan pesona fisik Aksa, ketika dia melihat langsung, Dhisti tak bisa tak memuji fisik Aksa yang memang enak dipandang. Hidung mancung, bibir merah jambu alami, alis tebal, rahang tegas, serta tubuh tegap, semua kelebihan itu menonjol dan membuat Aksa jelas menjadi magnet visual bagi banyak orang. Bahkan dengan mengenakan pakaian apa pun, semua orang pasti setuju bahwa Aksa ganteng. Namun ketika Aksa mengenakan pakaian yang memang cocok untuknya, seperti penampilan kasual yang dipakainya sekarang, kegantengan Aksa naik berkali-kali lipat.

Dhisti pun otomatis melirik penampilannya sendiri di kaca yang dia lewati. Tubuh Dhisti biasa saja. Tak bisa dibilang kurus dan tak bisa dibilang gemuk. Namun, tak bisa dibilang ideal juga. Dhisti merasa wajahnya juga standar saja. Memang tak ada jerawat, tapi terlihat biasa. Bukan cantik. Dan, jika bersanding dengan Aksa, 'biasa saja'nya ini bisa terbanting jadi 'tak layak'.

Mendesah, Dhisti memilih untuk mengabaikan pikiran itu dan segera mendekati Aksa. Dia tak ingin berkutat dengan pikiran tadi terus-menerus dan membuat Aksa menunggu lebih lama.

Heart of Gold | ✓Where stories live. Discover now