10 | Tanggung Jawab Kakak

40.8K 7.4K 259
                                    

10 | Tanggung Jawab Kakak




Pulang ke rumah bagi Dhisti sama saja dengan menghadapi kenyataan yang berbeda dari kehidupan sekolahnya.

Sedari SD, Dhisti sadar bahwa keuangan keluarganya pas-pasan. Sebenarnya, pekerjaan ayahnya cukup untuk membiayai dia dan keempat adiknya sekolah. Namun, Dhisti tahu bahwa biaya kuliah tidak murah.

Bagaimana dengan nanti kuliah? Pasti lebih ketat seleksi masuknya untuk mendapatkan bangku kuliah di PTN—Perguruan Tinggi Negeri. Orangtua Dhisti berharap tinggi kepadanya untuk masuk PTN supaya mengurangi beban biaya kuliah. Sebab jika Dhisti masuk PTN yang biaya kuliahnya berupa subsidi silang, bisa jadi Dhisti mendapat keringanan uang kuliah karena biaya kuliah didasarkan atas pendapatan dan tanggunan orangtua.

Dhisti sadar tak semua orang bisa masuk PTN, dan karenanya dia harus berusaha keras supaya bisa masuk. Dia harus fokus belajar dan pandai-pandai melihat kesempatan. Dhisti selama ini sudah cukup bekerja keras hingga dia bisa mendapat peringkat tertinggi satu sekolah. Namun, perkara mempertahankan prestasi lebih sulit daripada meraihnya. Dhisti sadar dia harus tetap fokus belajar untuk bertahan. Hal-hal yang kurang penting seperti merias diri atau masalah lelaki harus disingkirkan dulu. Masuk PTN lebih tinggi.

Jadi, harusnya Dhisti juga tak boleh memikirkan Aksa terus-menerus.

"Mbak Dhis! Itu airnya udah mendidih!"

Dhisti tersentak, segera menoleh ke arah air yang sedang dipanaskan dalam ketel. Uap sudah keluar dengan bunyi tutup ketel yang seolah ingin lepas. Dhisti terkesiap, segera beranjak dari kursi meja dan mematikan kompornya.

Setelah itu, Dhisti meletakkan ketel air ke meja dapur dan merebus sayur lalapan untuk makan malam. Dia menyalakan kompor dan kembali duduk di kursi meja makan yang terletak di depan dapur.

"Haduh, Mbak Dhis tumben-tumbenan nih ngelamun," ujar suara gadis cilik di sebelah Dhisti. Gadis berambut gelombang itu menarik kursi dan ikut duduk di dekat kakaknya. Matanya menatap dengan selidik. "Kalau ngelamun mulu, lagi mikirin apa hayo? Pasti cowok, yaaa?"

Dhist membuang muka. "Sok tahu kamu."

"Aku emang tahu, kali," seloroh Tyas, adik Dhisti yang pertama. "Lagian ya, Mbak, aku udah dengar lo dari Bu Yun kalau Mbak Dhis ini abis dianterin pulang sama cowok saban hari."

Sontak, mata Dhisti melotot. Ada yang melihat Aksa mengantarnya pulang? Sungguh? "Percaya aja kamu."

"Ya percayalah. Orang Bu Yun bukan mak-mak gosip. Dia mah ngomong apa yang ada aja," ujar Tyas. Senyumnya kembali menggoda. "Eh, Mbak, gimana cowoknya? Ganteng, nggak?"

Dhisti terdiam. Namun, dia tahu tak ada gunanya berbohong kepada adiknya yang satu ini. Tyas selalu punya cara untuk membuatnya akhirnya mengaku. "Ya... gitu deh."

"Gitu deh gimana? Kata Bu Yun yang sempat ngelihat dikit sih, katanya ganteng banget." Tyas mencolek pundak kakaknya. "Cie, dideketin cogan."

"Apaan, sih." Dhisti beranjak dari kursi dan mengaduk sayurnya yang masih direbus. Sebentar lagi matang. "Udah gih, bantuin Mbak siapin piring buat makan malam daripada malah ngegosip."

"Hih, aku kan ngomongnya langsung ke Mbak Dhis. Kalau ngomong di belakang, baru namanya ngegosip. Wek!" ujar Tyas, menjulurkan lidah. Namun, dia tetap mengikuti ucapan kakaknya untuk menyiapkan piring-piring di atas meja makan. Ibu mereka tak membantu karena sibuk mengurus tiga adik Dhisti yang lain.

Heart of Gold | ✓Where stories live. Discover now