12 | Musik Klasik

40.1K 7.2K 431
                                    

12 | Musik Klasik




Luka-luka di tubuh Aksa sudah diobati dan diperban oleh asisten rumah tangga.

Aksa telah berganti baju yang lebih santai, yakni celana pendek dan kaus oblong putih. Wajah Aksa memar di bagian pelipis, sementara bahu Aksa telah diperban. Kaki Aksa memang terluka, tetapi hanya luka baret kecil yang akan sembuh tiga-empat hari. Dia masih bisa berjalan, hanya belum bisa lari kencang.

Dhisti mengamati kepergian asisten rumah tangga Aksa dari ruang tamu tempat Aksa diobati. Kini, hanya ada mereka berdua duduk di sofa panjang ruang tamu.

Aksa berdeham. Membuat Dhisti menoleh kepadanya. "Lo mau pulang, ya? Biar gue anterin kalau mau balik," ujar Aksa, segera meraih kunci motornya. Sontak membuat Dhisti kaget.

"Eh, lo kan masih luka!" seru Dhisti, menahan tangan Aksa yang mengambil kunci motornya di meja. Tangan mereka bersentuhan, mengalirkan hangat tubuh Aksa ke tangan Dhisti. Dhisti segera menyentak tangannya. Berdeham. "Lo masih luka, Sa. Nggak usah sok kuat."

" Gue emang masih kuat, bukan sok kuat." Aksa mengambil kunci motornya. "Kalau mau pulang sekarang, bentar ya, gue ambil jaket dulu."

"Eh, nggak usah!" Dhisti menahan. Dia tadi sudah menimang bahwa dia tak ingin langsung pulang ke rumah. Sebab ibunya nanti bisa tahu bahwa dia membolos. Pulang ke rumah jelas bukanlah opsi yang tepat saat ini. "J-jangan, Sa. Kalau gue balik, ntar gue ketahuan bolos sama nyokap. Jadi gue mau di sini aja dulu... kalau boleh, sih."

"Oh iya." Aksa menjentikkan jari, kembali meletakkan kunci motornya di meja. "Ya udah, lo stay di sini aja sampai jam pulang sekolah. Udah dibikinin minum belum tadi?"

"Belum, sih. Tapi, nggak usah repot, Sa."

"Nggak repot kok. Kan lo juga udah bantuin gue." Aksa berdiri dari duduknya. "Mau minum apa? Jasjus mangga mau, nggak?"

Dhisti agak menahan senyum. Dia sudah lama tidak minum minuman serbuk instan seperti itu. Ditawari Aksa minum minuman yang biasa dia minum saat SD membuatnya terkenang masa kecil. "Ehm... boleh deh, kalau nggak ngerepotin."

"Oke, Jasjus mangga ya." Aksa segera pergi ke arah dapur, meninggalkan Dhisti di ruang tamu.

Beberapa saat setelah Aksa pergi, Dhisti berdiri dan melihat lebih dekat foto-foto keluarga Aksa. Ada foto Aksa kecil yang justru terlihat seperti bule. Ada pula foto-foto Aksa dengan saudara-saudaranya. Kebanyakan hanya foto berempat. Padahal yang Dhisti tahu, Aksa lima bersaudara. Apa emang sengaja dihilangkan biar nggak menimbulkan kecurigaan? pikir Dhisti.

Suara langkah kaki yang mendekat pun menahan Dhisti untuk menjelajah foto-foto lain lebih lanjut. Gadis itu agak terkejut melihat Aksa yang membawakan nampan berisi teko dan gelas. Dia pikir karena punya asisten rumah tangga, Aksa akan meminta tolong asisten rumah tangganya untuk menbawakan minuman. "Ayo, Dhis. Diminum."

"Iya, Sa. Makasih ya." Dhisti kembali duduk di sofa. Meraih sebuah gelas kosong yang segera dituangkan minuman oleh Aksa.

Dhisti tersenyum. "Makasih, ya."

"Neng, ini ngucap makasihnya udah dua kali, nih. Kalau tiga kali, Abang dapet piring cantik, nggak?" goda Aksa dengan seringai. Seketika membuat Dhisti tertawa.

"Apa sih. Receh amat," komentar Dhisti bercanda sebelum meminum Jasjus-nya.

Setelah beberapa detik berlalu, Aksa berdeham. "Ehm... Dhis?" panggil Aksa. Kali ini suaranya yang biasa tenang menyimpan nada waswas. "Lo... nggak mau nanya sesuatu?"

Heart of Gold | ✓Место, где живут истории. Откройте их для себя