1. Tetangga & Tiga Temannya

177 11 30
                                    

Sheina tersenyum pada seorang cowok di dalam mobil. Kepala cowok itu menyembul dari balik kaca pintu. "Besok lo nggak niat naik angkot lagi 'kan?" tanya cowok itu menaikkan alis.

"Kenapa emang?"

"Gue mau jemput lo," balas cowok itu.

"Rumah lo jauh, Diwa. Entar telat lagi."

"Pokoknya gue jemput lo besok. Kita pergi bareng. Jadi jangan kepikiran buat naik angkot," putus cowok bernama Diwa itu, membuat Sheina mengganggukkan kepalanya. Untuk apa? Toh, seorang Saldiwa Febriandanu sudah memutuskan. Apa pun yang akan dikatakannya, tidak akan mempan meruntuhkan permintaan cowok itu.

"Oke, gue balik, ya," sahut Diwa kemudian tersenyum pada Sheina.

"Hati-hati, Wa." Sheina menyunggingkan senyum tipis pada Diwa. Perlahan, mobil cowok itu melaju, meninggalkan perkarangan rumah Sheina.

Saat Sheina berjalan menuju teras rumahnya, suara bising dari deru kendaraan juga tawa membahana yang berhenti di sebelah rumahnya menarik perhatiannya. Ia melihat empat cowok di sana. Lama ia memandang, sampai sebuah suara dari salah satu keempat cowok itu menyadarkannya. "Lo bilang di sini kawasan lansia, Dhan! Boong aja lo!" Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, lalu bergegas, cepat-cepat masuk ke dalam rumah.

Ia masih bisa mendengar percakapan di luar sana begitu ia menutup pintu. Dengan penasaran, ia mengintip dari balik jendela, tetangga di sebelah rumahnya juga ketiga temannya.

"Kayaknya bakalan seru nih!"

"Cakep banget tuh cewek. Dhan, kenalan ke kita dong! 'Kan lo tetangganya."

"Tau nih si Ardhan, bisa-bisanya boong ke kita, bilang kalo di sini kawasan lansia."

"Diem! Atau gue tendang lo semua ke rumah masing-masing."

"Ha elah Ardhan, pelit banget!"

Sheina menutup telinga juga tirai jendelanya, tidak ingin hanyut terhadap percakapan cowok-cowok di samping rumahnya. Dengan cepat, ia bergegas menaiki undakan tangga, lalu mengganti seragam sekolah dengan pakaian rumah.

Sheina menghentikan langkahnya, tepat di samping kasur. Berhenti hanya untuk mendengar ketukan di pintu. Ia mencoba meyakini diri, dari tempatnya berdiri, barangkali ia salah mendengar ketukan pintu tersebut. Namun, setelah beberapa saat, ia mendapati ketukan itu lagi dan lagi, seolah menyadarkannya bahwa dirinyalah pemilik rumah yang mendapatkan kunjungan tamu mendadak.

Sheina menghela napas. Ia menggerakkan kakinya menuju pintu rumah sambil menerka-nerka, siapa gerangan yang datang ke rumahnya. Untuk memastikan siapa yang berkunjung, dengan hati-hati dan was-was, ia membuka tirai, lalu mengintip. Perawakan laki-laki yang membelakanginya. Ia tidak mengenal perawakan laki-laki itu. Lantas, haruskah ia membuka pintu saat ada seorang laki-laki yang tidak dikenalnya datang ke rumahnya? Mana ia sendirian lagi. Cewek pula. Bukannya apa, jaman seperti saat ini, kejahatan bisa saja terjadi dan tak akan pernah terduga. Jadi, lebih baik kalau ia waspada terhadap keburukan yang akan terjadi.

Sheina mengembuskan napas kasar saat ia mengakhiri pergolakan yang dilakukan pikiran juga hatinya, antara memilih membuka pintu atau membiarkan seseorang di luar sana tanpa memberi balasan, seolah-olah pemilik rumah sedang tidak ada di rumah. Pada akhirnya, ia memilih untuk membukakan pintu. Pelan sekali.

"Hai!" Senyuman itu tersungging begitu ramah saat cowok itu berbalik badan. Sheina meyakinkan diri bahwa cowok itu bukanlah orang jahat seperti bayangannya beberapa menit lalu. Tanpa sadar, ia mengembuskan napas lega.

The Boy Next DoorWhere stories live. Discover now