9. Kegundahan Hati

77 4 6
                                    

Diwa : Na? Lo malem ini gak ada rencana mau ke mana-mana kan?

Sheina : Gak ada. Kenapa emangnya?

Diwa : Gue mau ngajak lo makan sekalian jalan-jalan. Ya, itung-itung permintaan maaf gue sama lo.

Diwa : Gimana? Lo mau gak?

Sheina : Oke.

Setelah mengirim pesan pada Diwa, Sheina bergegas ke kamar dan mengganti baju. Ya, setidaknya ia harus berpenampilan yang menarik untuk berjalan-jalan dengan Diwa.

Tak lama kemudian, ponselnya berdering. Buru-buru, Sheina mengambil ponsel di atas kasur.

"Halo," balasnya pada seseorang di seberang sana. "Iya, ini gue udah siap. Lo udah di mana emangnya, Wa?" tanyanya pada sang penelepon, Diwa. "Oke, oke, tunggu ya. Gue turun nih. Dah ...." Sheina menutup teleponnya dan bergegas turun untuk menghampiri Diwa yang ternyata sudah menunggu dirinya di depan rumah.

Tidak perlu merasa heran. Diwa itu memang berbakat membuat Sheina terburu-buru karena kedatangannya yang tiba-tiba dan terkesan sangat cepat. Padahal, jarak antara rumahnya dan Diwa itu berpuluh-puluh kilometer jauhnya. Tapi, ya, namanya juga Diwa. Sheina sudah hapal tipikalnya yang seperti itu.

Diwa tersenyum ketika melihat Sheina berjalan ke arahnya. Hal itu sontak saja membuat Sheina mengernyit sembari melihat penampilannya, barangkali ada sesuatu yang aneh dengan tampilannya malam ini. Kerutan di dahinya semakin dalam ketika tidak menemukan sedikit pun yang aneh dari penampilannya. "Kenapa? Ada yang salah?" tanyanya pada Diwa.

Diwa menggeleng. "Enggak. Gue cuma pangling aja liat lo cantik banget malem ini padahal cuma jalan sama gue."

Sheina terkekeh, merasa konyol. Ia melipat tangannya di dada sambil menatap Diwa. "Biasanya emang gue nggak cantik?"

"Nggak," balas Diwa cepat sambil terkekeh. "Ya udah, cepet naik. Ntar lama-lama, keburu luntur tuh make up."

"Siapa juga yang pake make up. Orang gue cuma pake bedak sama liptint doang kok," sahut Sheina cemberut.

Ketika Sheina membuka pintu mobil, tahu-tahu Farhan muncul. Perhatian pun teralihkan pada Farhan yang kini sedang mengatur napasnya, seperti habis lari maraton.

"Farhan? Ada apa?" Sheina memandang Farhan dengan alis menyatu. Diliriknya sekilas Diwa, lantas memberi senyum tipis untuk menenangkan Diwa.

Farhan berdiri tegak. Melirik sekilas pada Diwa di dalam mobil, lalu menatap Sheina dengan air muka serius. "Sebenernya gue masih belum ngerti. Tapi, yang jelas, Sauqi nyuruh gue buat manggil lo."

"Mau ngapain?" Diwa mengawali kebingungan Sheina. Nyatanya, cowok itu sudah keluar dari dalam mobil, lalu berdiri di samping Sheina. Hal itu sontak saja membuat Sheina menggenggam tangan Diwa, berusaha agar cowok itu tetap tenang.

"Ardhan," ucap Farhan penuh keraguan. Mengingatkan Sheina pada peristiwa yang telah lalu, tepat ketika pertama kalinya ia mengenal Farhan.

Diwa mendengkus. Tanpa memedulikan Farhan, Diwa berujar pada Sheina. "Jadi nggak nih?" Perkataannya berhasil membuat perhatian Sheina teralihkan. "Kalo lo masih mau ngeladeni dia, mending gue pulang aja," lanjutnya melepaskan genggaman tangan Sheina pada tangannya secara perlahan.

"Na, mungkin lo bingung. Gue juga. Tapi, biarin gue ngomong sekali dan tolong dengerin gue." Farhan menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. "Ardhan sakit, nggak mau bangun dari tadi pagi. Makanya kita nggak sekolah. Terus tadi, kata Sauqi, dia manggil-manggil nama Sheina. Satu-satunya nama Sheina yang kita kenal cuma lo. Jadi kemungkinan besar, lo yang dimaksud Ardhan.

"Davin udah manggil dokter, tapi tetep aja, nggak ada perubahan dari kondisi Ardhan. Jadi, gue minta sama lo buat jengukin Ardhan sekali aja. Ya, seenggaknya, dengan kayak gitu, kondisinya semakin membaik. Karna jujur, gue, Sauqi, sama Davin juga nggak tau harus ngelakuin apa lagi."

Keheningan menyusul. Selama beberapa saat hanya kebisuan yang mendominasi.

"Tapi, kalo lo emang mau pergi, ya udah, nggak pa-pa, Na. Gue cuma mau nyampein itu aja." Farhan tersenyum lalu pamit undur diri, kembali ke rumah Ardhan.

Sheina menatap Diwa dengan pengharapan. Meski Diwa melihat ke arah lain, tapi Diwa tahu arti dari tatapan Sheina. Namun, meski ia tahu jelas, entah mengapa, hatinya sulit sekali untuk bisa berdamai. Entah mengapa, ia tidak bisa merelakan. Tidak bisa menerima bahwa tatapan itu mengartikan kalau Sheina lebih memilih Ardhan dibandingkan dirinya. Meski sekalipun ia tahu, Ardhan sedang sekarat dan kemungkinan lebih membutuhkan Sheina daripada dirinya.

"Ya udah, nggak pa-pa. Gue pulang dulu." Pada akhirnya, ia kembali mengalah. Kembali bersikap tenang seolah-olah tak ada yang perlu dipermasalahkan.

"Sorry, Wa. Mungkin kita bakal pergi di lain waktu," kata Sheina, lantas melangkahkan kaki menuju rumah Ardhan.

Sementara Diwa, mati-matian menahan gejolak hati yang membuncah. Mengapa harus sekarang? Mengapa selalu hadir di saat yang tidak tepat? Mengapa?

❌❌❌

Benar saja. Ardhan benar-benar sedang sakit. Kini, Sheina dapat melihat cowok itu terbaring tak berdaya di atas tempat tidur.

Dengan pandangan nanar dan kaki gemetar, ia berdiri di ambang pintu, seolah ingin memastikan kalau cowok itu memang belum mau membuka mata. Memastikan kalau ia tak akan mendapatkan segala bentuk penolakan cowok itu terhadap dirinya.

Ia alihkan tatapan, memandang Sauqi yang berdiri di samping pintu. Seolah tahu arti tatapan itu, Sauqi mengangguk pelan sambil tersenyum tipis. Sheina mengembuskan napas panjang, lalu secara perlahan berjalan mendekati Ardhan yang tertidur begitu nyenyak. Begitu nyenyak hingga tidak menyadari kalau ia sudah melewati batas.

Sheina duduk di ujung kasur, samping Ardhan. Ia terdiam cukup lama, memandang wajah damai Ardhan. Wajah damai tanpa bentuk penolakan sedikit pun dari sang empunya. Tanpa sedikit pun rasa amarah yang terbalut dalam wajah damainya. Raut kebencian yang selalu ditunjukkan saat secara tak sengaja bertemu.

Sheina meneguk air liurnya serat. Tangannya terulur, menyentuh dahi Ardhan. Panas. Lama ia bergeming. Hanya menempelkan telapak tangannya di atas dahi Ardhan. Seolah hanya dengan sentuhannya itu dapat mengurangi sakit Ardhan. Seolah dengan sentuhannya dapat memindahkan rasa sakit Ardhan kepadanya. Seolah dengan begitu, sepasang mata yang terpejam itu akan terbuka.

Lalu, setelah itu, apa yang ia harapkan? Ardhan akan marah mengetahuinya berada di sini ketika cowok itu membuka mata? Sheina menggigit bibir ketika logikanya berhasil mengambil alih. Ia melepas sentuhan tangannya pada dahi Ardhan, yang sejujurnya berhasil mengacaukan degupan jantungnya. Yang sejujurnya sangat ia rindukan.

"Na ...."

Suara cowok itu terdengar. Suara serak yang membuat Sheina memberanikan diri menggenggam tangan besar Ardhan. Memberitahu Ardhan bahwa ia ada di sini. Di dekat cowok itu. Menemaninya. Bersamanya.

Setitik cairan bening lolos. Sungguh, sudah berapa lama Ardhan pergi? Sudah sejauh mana langkah kaki Ardhan mampu membawanya pergi? Sudah berapa lama ia tidak mendengar suara itu memanggilnya begitu?

Sentuhan itu kian membuat Sheina terlempar jauh sekali. Terlempar pada masa lalu yang berkabut. Pada masa lalu yang berkelabu. Tentang Ardhan, dirinya, juga Diwa. Tiga sahabat yang selalu bersama sebelum salah seorang memutuskan pergi dan memberikan punggung, tak lagi menoleh ke belakang. Yang dalam sekejap, melupakan kenangan dengan begitu mudah. Menjadi dingin, tak tersentuh. Asing, tak terkenali lagi. Pergi, jauh sekali hingga sulit digapai. Seolah berganti menjadi sesosok yang baru.

❌❌❌

[13 November 2018]

Vous avez atteint le dernier des chapitres publiés.

⏰ Dernière mise à jour : Nov 16, 2018 ⏰

Ajoutez cette histoire à votre Bibliothèque pour être informé des nouveaux chapitres !

The Boy Next DoorOù les histoires vivent. Découvrez maintenant