4. Benci?

47 4 4
                                    

Lagi-lagi kelakuan teman-temannya itu membuat pusing kepala. Tadi, sepulang sekolah, Ardhan masih mengingat dengan jelas kalau Davin dan Farhan berkata bahwa mereka tidak bisa ke rumahnya hari ini. Ada hal yang harus mereka kerjakan, begitu kata mereka saat Sauqi melontarkan pertanyaan. Namun, lihatlah saat ini. Dengan cengiran menghiasi wajah Farhan dan senyuman yang luar biasa manis dari Davin, mereka berdiri di depan rumah sambil membawa tas yang berisi pakaian.

Ardhan baru sadar, ternyata, kerjaan yang mereka bilang sepulang sekolah tadi adalah membereskan pakaian ke dalam tas. Ada-ada saja. Benar-benar di luar dugaan.

Bukan hanya Ardhan yang pusing. Sauqi juga. Ia sampai menggelengkan kepala melihat kedua temannya itu.

Setelah beberapa menit kemudian, keempatnya masuk ke dalam rumah Ardhan, lalu duduk di ruang tamu. Masing-masing memiliki ekspresi. Ardhan yang berwajah datar sambil memijat dahinya. Sauqi dengan kerutan di keningnya. Farhan yang cengengesan. Lalu Davin dengan santainya memasang wajah tak berdosa, seolah tak terjadi sesuatu pun.

"Gue males banget di rumah, Dhan. Lo 'kan tau sendiri kalo gue selalu dianak-tirikan di rumah itu," alibi pertama yang diucapkan oleh Farhan, mulai menjelaskan maksud dan tujuannya pada Ardhan, meski tidak diminta secara langsung oleh cowok itu.

"Gue diajak Farhan. Terus setuju karna ada tetangga sebelah," alibi kedua oleh Davin dengan kejujurannya.

"Ibu sama bapak ngomel mulu di rumah. Gue 'kan jadi tambah sengsara, Dhan. Tiap hari gitu. Makanya gue lebih betah kalo tinggal di sini dibanding rumah yang udah kayak neraka itu," alibi ketiga dari Farhan dengan mimik penuh dramatis. "Gue juga lagi ada masalah sama abang gue. Jadi, ya udah, gue minggat aja sekalian dari rumah daripada diomelin mulu sana sini. Pecah gendang telinga gue kalo gitu tiap hari," lanjutnya masih dengan mimik sengsara.

Mendengar itu membuat Ardhan mengembuskan napas panjang. "Oke," putusnya kemudian. "Tapi jangan bawa-bawa tetangga sebelah kalo lagi sama gue."

"Kenapa?" Refleks, pertanyaan itu terlontar dari mulut Farhan.

"Gue nggak suka. Jadi, cukup sampe sini. Jangan ada bahasan lagi soal dia." Ardhan berbicara membuat ketiganya kebingungan. "Mau lo betiga temenan, pacaran sekalipun sama tuh cewek, jangan ngomong di depan gue."

"Yah, tapi kenapa? Seenggaknya lo harus kasih kita penjelasan lebih detail supaya kita paham." Farhan tidak bisa lebih lama menahan rasa penasarannya. Cewek seperti Sheina tidak bisa diabaikan begitu saja. Dan kali ini, Ardhan melakukan hal itu. Benar-benar tidak bisa dipercaya.

"Nggak ada yang bisa lo pahami." Perkataan tajam Ardhan kontan saja membungkam keingintahuan Farhan. Ia paling tidak bisa melihat kilat kemarahan dari sahabatnya. Daripada bertengkar, lebih baik bungkam, tidak membahas lebih lanjut.

"Gue cuma minta satu hal itu aja." Ardhan kembali berkata setelah beberapa menit lalu dilanda keheningan. "Kalo kalian nggak bisa ikuti, tinggalkan dan enyah dari pandangan gue," tekannya sekali lagi masih dengan wajah tanpa ekspresi.

❌❌❌

Biasanya kalau lagi malam begini, Sheina menyempatkan diri sejenak untuk melihat bintang dan menikmati angin malam. Maka, hal itulah yang ia lakukan saat ini. Menikmati malam. Ia tersenyum ketika angin perlahan menerbangkan rambutnya yang tergerai. Benar-benar sejuk.

"Gue baru sadar, ternyata bidadari cantik yang turun ke bumi itu bukan cerita dongeng semata." Suara itu berhasil membuat Sheina terhenyak. Dengan cepat, ia beralih ke arah samping kirinya. Sebab, rumah yang berada tepat di samping kanannya itu sudah tidak berpenghuni. Jadi, di sebelah kirinyalah satu-satunya pilihan tepat untuk menolehkan pandangan. Benar saja, ia melihat Davin. Tentu dengan senyuman manis di wajahnya. "Karna sekarang, gue nyaksiin sendiri dengan mata kepala gue langsung. Dan ini nyata."

The Boy Next DoorWhere stories live. Discover now