8. Sekilas Masa Lalu

50 3 2
                                    

Keheningan menemani perjalanan menuju rumah Sheina. Tidak ada yang membuka mulut. Diwa yang sedang sibuk merangkai kata dalam kepalanya, sedang Sheina yang masih marah. Keduanya mengatup bibir rapat-rapat.

Omong-omong, kendati Sheina masih marah pada Diwa, ia tidak bisa membiarkan Diwa begitu saja. Masih ada sedikit kecemasan dalam dirinya ketika pikirannya untuk pulang sendiri, lalu meninggalkan Diwa bersama komplotan Riko terlintas di benaknya. Tidak. Ia tidak bisa membiarkan hal itu terjadi.

Ketika mobil Diwa sudah sampai di depan rumah Sheina, untuk kali pertama, Sheina mengeluarkan suaranya. "Masuk dulu. Biar gue obatin luka-luka lo." Walaupun masih marah, tetap saja, Sheina tidak bisa abai terhadap kondisi Diwa.

Keduanya pun masuk dalam suasana hening yang mencekam. Tak satu pun mengeluarkan suara. Bahkan hal itu terjadi sampai Sheina telah selesai dengan kegiatannya mengobati luka-luka pada wajah Diwa.

"Masih mau diem-dieman aja nih? Lo nggak mau ngomong apa-apa sama gue buat ngebela diri?" tanya Sheina setelah memasukkan betadine dan kapas di dalam kotak obat.

Diwa mengembuskan napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Sheina. "Oke, gue minta maaf. Bukan karna gue ngerasa bersalah udah mukulin tuh orang, tapi karna gue udah ngingkarin janji sama lo." Kalau sudah memiliki rasa yang berbeda, sekecil apa pun, sebercanda apa pun kata-kata atau janji, akan selalu diingat.

"Terus, ceritanya, lo nggak mau minta maaf sama dia?"

Tidak perlu berlama-lama untuk memikirkan jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan oleh Sheina, sebab itu adalah perkara yang sangat mudah. "Nggak," balas Diwa cepat.

Tanggapan Diwa berhasil membuat Sheina mengernyit, tak mengerti. "Lo udah mukulin anak orang sampe babak belur gitu, dan lo bilang lo nggak mau minta maaf?" Sheina benar-benar tidak mengerti jalan pikiran Diwa. Sudah jelas Diwa bersalah dalam hal ini, lalu mengapa Diwa masih bersikeras tidak mau meminta maaf?

"Gue cuma ngasi peringatan ke dia buat nggak ngedeketin lo lagi, gue rasa itu nggak salah. Dan gue rasa pukulan juga nggak jadi masalah karna dia ngelawan dengan mancing gue pake mulut kotornya," sahut Diwa tanpa merasa bersalah sedikit pun.

Sheina memutar bola matanya. Lagi-lagi dirinya. Selalu begitu. Sampai-sampai terkadang, Sheina bosan mendengarnya. Peraturan yang terbentuk entah darimana dan entah sejak kapan. Ketika Sheina melontarkan pertanyaan untuk pertama kalinya perihal cowok yang mendekatinya, Diwa hanya bilang kalau ia tidak ingin Sheina terluka.

Baru saja Sheina membuka mulut untuk membalas perkataan Diwa, namun Diwa menghentikannya dengan berkata, "Udah, Na. Gue nggak mau bahas itu lagi. Toh, percuma aja. Kayak mana pun lo berusaha buat gue minta maaf sama dia, gue tetep nggak bakal bisa."

Keras kepala beradu dengan keras kepala hanya akan menyita energi, makanya Sheina hanya menghela napas sambil berkata, "Oke, terserah lo aja."

Sheina bangkit berdiri sambil membawa kotak P3K juga rendaman air hangat dalam mangkuk. Kemudian membawanya ke lemari makan. Namun, sebelum sempat ia mencapai lemari, Diwa memanggil namanya. "Na ...."

Sheina berbalik dan menatap Diwa. "Hm?" tanyanya sambil mengangkat alis.

"Gue cuma mau bilang, tolong jauhi Davin," sahut Diwa pelan tanpa menatap Sheina.

Sheina menghela napas, membuang muka, lalu kembali menatap Diwa. "Permintaan lo ditolak karna nggak logis," ucapnya melanjutkan langkah dengan cepat. Sebab, entah mengapa, Diwa yang seperti saat ini begitu sulit dimengerti.

Sheina menutup pintu lemari seraya berkata, "Ya udah, lo pulang gih. Makan terus istirahat di rumah."

"Lo ngusir gue nih ceritanya?"

The Boy Next DoorTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon