7. Terulang Kembali

52 4 2
                                    

Jika ada yang mengganggu harus segera dibasmi. Jika ada yang mengotori jalannya harus segera disingkirkan. Pemikiran itulah yang terlintas di benak Diwa ketika melihat Sheina yang sedang mencatat materi kimia yang begitu rumit baginya. Tidak pernah mampu dikuasinya. Yah, kecuali waktu di kelas sepuluh, waktu materi tidak serumit di kelas sebelas, itu pun hanya mampu memahami materi atom konfigurasi dan sistem periodik unsur. Selebihnya, Diwa angkat tangan.  Makanya, daripada melihat materi kimia yang hanya membuat sakit mata, ia lebih memilih melihat Sheina yang mampu menentramkan hati.

"Jangan ngeliatin gue segitunya. Entar lo jatuh cinta, gue nggak tanggung jawab." Sheina membuka mulut, tanpa mengalihkan tatapannya dari buku dan papan tulis.

"Telat! Gue udah jatuh cinta, jadi lo harus tanggung jawab." Diwa mengucapnya dengan sungguh-sungguh. Namun, berbalik dengan tanggapan yang Sheina berikan.

"Kalo nampol kepala lo bisa disebut tanggung jawab, gue mau." Sambil tertawa, Sheina membalas perkataan Diwa. "Kerjain! Satu sampe lima doang kok." Sheina menyodorkan bukunya pada Diwa, lalu menutup pulpennya.

"Satu sampe lima tapi beranak cucu, sama aja," sahut Diwa malas. Meski begitu, ia tetap menuliskan tugas yang diberikan Guru Kimianya.

"Udah, kerjain aja." Sambil membuka ponsel, Sheina membalas perkataan Diwa.

Diwa melirik sekilas ke arah Sheina ketika ia menyalin jawaban Sheina. "Chatting-an sama siapa?"

"Temen."

"Siapa?" tanyanya meilirik sedikit lebih lama. Kini, ia dapat melihat nama seseorang yang sedang bertukar pesan dengan Sheina.

"Nulis aja dulu, Wa. Selesaiin biar kumpul tepat waktu." Sheina mengalihkan pembicaraan, lantas menutup ponselnya. "Udah sampe nomer berapa?"

"Nomer lima," ucap Diwa tetap menulis dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya terkepal, menahan amarah. Seperti pemikiran yang terlintas di benaknya tadi, ia tidak akan main-main. Ia bukan tipikal orang yang akan mudah bersabar apabila sudah menyangkut miliknya. Tidak. Jangan harap.

❌❌❌

Kejadian itu terulang kembali. Setelah setahun berlalu, peristiwa yang sama terjadi lagi.

Sheina memacu langkah kakinya secepat yang ia bisa. Sungguh, ia tidak ingin kejadian yang sama terulang kembali. Makanya, ia harus segera menghentikannya sebelum terlambat. Urusan masalah yang membuat Diwa berulah kembali itu, biarlah menjadi urusan nanti.

Sheina menengok kanan-kiri setiba ia di depan jalan raya. Sambil mengatur napasnya yang ngos-ngosan, ia menyeberangi jalan.

Sheina mengernyit ketika mendapati sekolah Dharmaguna yang lengang. Apa ia hanya dikerjai saja? Atau barangkali, memang benar Diwa berkelahi, tapi bukan di sini tempatnya?

Memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi membuat Sheina menghela napas. Ia bergegas akan meninggalkan sekolah Dharmaguna. Akan tetapi, baru beberapa langkah kakinya berjalan, ia melihat tiga orang siswa yang mengenakan seragam Garuda mengendari motor melintas di depannya. Ia segera berbalik arah, berusaha menyembunyikan identitas. Setelah yakin ketiga cowok itu tidak melihat dirinya, Sheina kembali melangkahkan kaki melewati jalan yang dilalui ketiga cowok yang tidak dikenalnya itu.

Tepat di perempatan jalan, Sheina berbelok ke kiri, tempat yang sepi dengan di sisi kanan dan kiri pepohonan dan semak-semak. Perlahan namun pasti, ia melihat kerumunan siswa-siswi yang lebih dominan cowok mengenakan seragam Garuda dan Dharmaguna. Mereka berdiri, membentuk lingkaran.

Hatinya mendadak cemas. Seketika, ia didera oleh rasa khawatir yang berlebihan. Rasa amarah pun tak dapat terbendung. Semuanya bercampur menjadi satu.

Dengan gerak cepat, ia berlari menerjang kerumunan itu. Meski dengan susah payah, ia berhasil menerobos satu per satu orang yang menghalanginya. Meski dihujami oleh delik tak suka juga kemarahan atas kelakuannya yang seenaknya menyingkirkan orang-orang di depannya, ia tak peduli. Satu-satunya yang ia pedulikan saat ini hanya seseorang yang sedari tadi menjadi penghuni di pikirannya.

Dua kali. Dua kali ia melihat peristiwa yang sama. Menyaksikan Diwa yang sedang berkelahi dengan siswa dari Dharmaguna. Terlebih lagi, siswa Dharmaguna itu adalah Davin.

Ia menjerit tertahan, berusaha menahan gejolak emosi yang timbul ketika tangannya ditarik, tidak memperbolehkan dirinya mendekati Diwa dan Davin. Yah, siapa pula yang berani menarik tangannya di saat keadaan genting seperti ini?

"Riko!" Sheina hampir menjerit saking kesalnya. Ia tak habis pikir, di mana akal sehat cowok itu. Bisa-bisanya cowok itu hanya diam sementara Diwa sedang berkelahi. Terlebih lagi cowok itu seolah tengah menjadi seorang penonton yang baik, hanya melihat dari barisan seperti tengah menyaksikan sesuatu yang menyenangkan. Teman macam apa itu? "Lepasin!" Sheina berucap dengan tajam sambil berusaha melepaskan cengkraman cowok itu.

"Lo mau ngapain?" Riko menaikkan satu alisnya.

Respon yang ditunjukkan Riko semakin membuat Sheina marah. "Ngapain lo bilang?" Sheina menggunakan semua tenaganya untuk melepaskan cengkraman Riko. "Temen lo mukulin anak orang, lo bilang gue mau ngapain? Punya otak nggak si lo?" Kesabarannya hampir habis. Sheina tidak peduli. Bahkan sekalipun suara teriakannya didengar oleh semua orang. "Lepasin gue bilang!" Seberusaha apa pun Sheina, tetap saja, tenaga perempuan tidak akan bisa menandingi tenaga laki-laki. Sudah hukum alam.

"Lepasin, Ko!" Seseorang bersuara, mengintrupsi Riko agar melepaskannya. Ia tahu, sangat mengenal pemilik suara itu, Diwa.

Sheina menyentak tangannya setelah Riko melonggarkan cengkraman di lengannya. Lalu beralih memandang sekitarnya. Siswa-siswa dari sekolah Garuda, barangkali mereka adalah komplotan Riko berjejer mengelilingi tempat Diwa memukuli Davin. Menghalangi siapa pun yang ingin mendekat. Termasuk Farhan, Sauqi, juga Ardhan. Mereka bertiga sudah babak belur dengan tangan dipegangi oleh dua orang cowok berbadan besar. Entah siapa, Sheina tidak tahu.

"Na," panggil Diwa, membuyarkan pikiran Sheina. Hingga ia tak sadar, sejak kapan Diwa berdiri di hadapannya.

Menyadari itu, sontak saja membuat Sheina mundur beberapa langkah. "Berhenti di situ," katanya pada Diwa saat cowok itu berusaha mendekatinya.

Sheina menghela napas dan berjalan pelan, menghampiri Davin yang terbaring dengan posisi mengenaskan. Mengabaikan Diwa yang bergeming dari tempatnya, tampaknya benar-benar mematuhi perintah Sheina.

"Apa yang kalian liat? Bubar!" teriaknya pada orang-orang di sekitarnya yang masih terdiam melihat dirinya.

Sheina membantu Davin duduk. "Lo nggak pa-pa 'kan?" Davin mengangguk pelan. "Maafin gue, ya. Mungkin kalo gue dateng lebih cepet, lo nggak bakal kayak gini," lanjut Sheina pada Davin dengan rasa bersalah.

"Lo nggak seharusnya minta maaf sama dia, Na."

Sheina mendengkus kasar saat Diwa berkata seperti itu. Sudah salah, bukannya minta maaf, malah berkata seperti itu.

"Udah, Na. Lo tenangin aja dulu cowok songong lo itu. Nasehatin dia biar jadi orang bener. Davin biar kita yang ngurus." Sauqi datang dengan Farhan dan Ardhan yang membantu Davin berdiri. Keduanya hanya bungkam.

Tidak biasanya. Bagaimana pun, tetap saja, Farhan bukan tipikal orang yang hanya akan diam saja. Tapi mengapa jadi seperti ini?

Meski bukan Sheina yang melakukan, tetap saja, rasa bersalah itu tak dapat dihindarkan. Tidak dapat dielakkan. Apalagi saat matanya secara tak sengaja tertuju pada Ardhan dengan ketenangannya yang mematikan mampu membuatnya menjadi ketar-ketir, bingung harus melakukan apa. Makanya, sewaktu Ardhan dan Farhan memapah Davin, Sheina hanya bisa bergeming dari duduknya bersimpuh di tanah.

"Nggak apa-apa. Ini cuma permainan laki-laki. Lo nggak usah khawatir," lanjut Sauqi menepuk bahunya ramah. Benar-benar sedikit membuatnya tenang.

Sheina tersenyum sambil mengangguk. Tidak bisa berbuat banyak. Tidak bisa melakukan apa-apa. Setidaknya hal itulah yang mereka inginkan agar suasana tidak bertambah keruh.

❌❌❌

[26 Oktober 2018]

The Boy Next DoorWhere stories live. Discover now