2. Kecap dan Badak

102 10 21
                                    

Sheina berjalan di koridor sekolah dengan Diwa di sisinya. Memang begitu. Sejauh mata memandang, di mana Sheina berada, pasti ada Diwa, begitu sebaliknya. Cukup memberitahu pada seluruh siswa-siswi Garuda bahwa hubungan mereka lebih dari sekadar dekat. Cukup membuat siapa pun yang hendak memulai hubungan dengan keduanya harus segera menyingkir sebab tidak ada ruang bagi mereka. Lagipula, mereka cukup tahu diri dengan tidak mencari-cari masalah dengan Diwa, cowok yang cukup terkenal itu memiliki segudang reputasi yang buruk. Jadi, jangan mencari masalah dengan cowok itu kalau tidak ingin kena imbasnya.

Alis Diwa terangkat sebelah. "Lo kenapa? Kayaknya gue perhatiin dari tadi lo gelisah mulu." Diwa melontarkan pertanyaan setelah masuk ke dalam mobil, bersiap untuk mengantarkan Sheina pulang.

"Nggak. Gue nggak pa-pa." Sheina menyahut dengan cepat.

"Oke." Diwa menganggukkan kepala. Tidak ingin membahas perihal Sheina yang sedari tadi diperhatikan cowok itu terlihat gelisah. Sangat kentara. Toh, cowok itu yakin, pasti Sheina akan bicara padanya cepat atau lambat. Ia sudah cukup lama mengenal cewek yang duduk di sampingnya itu. Makanya ia tahu jelas bagaimana tipikal Sheina.

"Oh iya, buat omongan gue kemarin, lo udah mikirin mateng-mateng?"

"Buat pindah rumah?" tanya Sheina tepat sasaran. Dilihatnya Diwa mengangguk. Ini sudah kesekian kalinya Diwa mengungkit soal pindah rumah. Menurut cowok itu, akan lebih baik bila Sheina menetap di tempat yang tidak jauh dari jangkauan cowok itu. "Gue udah yakin. Gue nggak bakal pindah."

"Gue bisa bilang sama bang Refan kalo itu yang lo khawatirin."

"Wa, itu keputusan gue. Sampai kapanpun lo nanya ke gue, jawaban gue tetep sama. Gue nggak bakal pindah. Apa pun alesannya." Sheina memberikan senyum tipis pada Diwa yang memandangnya. "Terlalu banyak kenangan di sana. Dan gue, nggak mau pergi dari kenangan itu."

Diwa tersenyum kecut sambil mengangguk perlahan. "Ya udah kalo itu yang lo mau. Gue nggak bisa maksa," katanya memalingkan muka, lantas melajukan mobilnya saat lampu lalu lintas menjadi hijau. "Tapi inget, kalo lo ada apa-apa, orang pertama yang harus lo kasih tau, itu gue."

Sheina tertawa, berhasil membuat suasana tegang seketika menjadi normal kembali. "Ya, ya. Gue tau. 'Kan emang gitu dari dulu."

Wajah Diwa mengendur, tergantikan dengan kekehan. Hal itu membuat Sheina lega. Dari dulu sampai sekarang, cowok itu tidak pernah berubah. Tetap Diwa yang selalu melindunginya. Diwa yang selalu berada di sisinya apa pun yang terjadi. Selalu menjadi tempatnya pulang. Makanya, Sheina sempat jatuh hati pada cowok itu saat mereka masih kecil. Namun, perasaan itu harus dihempaskan ketika Diwa hanya menganggapnya sebagai sahabat, tidak lebih. Perasaannya mutlak sudah terbuang begitu jauh. Sejak duduk di bangku SMP hingga sekarang, perasaannya pada Diwa hanya sebatas lingkup persahabatan, tidak lebih, seperti harapan cowok itu dulu ketika ia secara tidak sadar menyatakan perasaannya.

❌❌❌

Sheina berdiri di balkon kamarnya. Dari atas sini, ia bisa melihat beberapa orang berlalu-lalang di jalan setapak rumahnya. Lalu pandangannya beralih, menatap balkon rumah di samping kanan juga kirinya. Ia menghela napas. Sebenarnya inilah yang membuatnya tampak gelisah di mata seorang Diwa. Seberusaha apa pun ia menyembunyikannya, tetap saja, cowok itu terlalu peka. Hanya saja, ia tidak bisa menceritakan perihal itu pada Diwa. Bisa dipastikan cowok itu akan marah dan langsung menerjang Ardhan, tetangga di sebelah rumahnya. Lalu, meminta Refan, kakak kandungnya untuk menyuruhnya pindah. Kakaknya itu terlalu mudah terpengaruh oleh Diwa. Bahkan, terkadang, Sheina bingung sebenarnya yang adiknya Refan itu dirinya atau Diwa. Tidak. Sheina tidak ingin Diwa sampai melakukan hal itu. Makanya, sebisa mungkin ia menahan bibir agar tidak cerita.

The Boy Next DoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang