6. Memendam Rasa

53 4 0
                                    

Wajah itu tidak dapat berbohong. Meski Diwa berusaha tampak bersikap seperti biasanya, gelagat cowok itu terlihat dengan jelas melalui mata telanjang. Sheina tahu, paham betul kalau Diwa sedang marah dengannya. Perihal semalam. Tak tanggung-tanggung, seolah sangat betah dengan kebungkaman, Diwa memilih mengabaikan setiap perkataan Sheina. Dari pagi menjemput Sheina sampai berada di dalam kelas, cowok itu melulu mendiamkan Sheina. Terkadang, kalau Sheina bertanya, hanya sesekali Diwa menjawab, itu pun hanya berupa anggukan dan gelengan. Hanya sebatas itu.

Hingga saat-saat jam istirahat, Sheina memilih untuk lebih menyuarakan protesnya. Sebab, tingkah cowok itu sungguh sudah kelewat batas.

"Gue nanya sama lo, Wa, lo mau ke mana?" Sheina mempercepat langkah keluar dari kelas, menyejajarkan langkah kaki Diwa yang panjang. "Jangan gini dong, Wa. Kalo lo marah, lampiasin aja. Jangan diem trus ngabaiin gue kayak gini," kata Sheina, berusaha menghentikan langkah Diwa. Namun, nihil. Diwa sama sekali tidak mengindahkan perkataan Sheina. "Wa, lo denger gue 'kan?"

"Diwa!" Sheina menghentikan langkahnya. Sambil mengatur napasnya yang ngos-ngosan, Sheina menatap Diwa yang masih tidak memedulikannya. Biasanya, kalau sudah begini, Diwa akan luluh. Tapi, ternyata, Sheina harus menelan pahit sebab Diwa masih tidak memedulikannya. Jangankan membalas perkataan Sheina, melirik pun tidak.

Sheina mengembuskan napas panjang, lalu berbalik menuju kelasnya. Seandainya ia tahu akan jadi seperti ini, ia lebih memilih tidak mengiyakan ajakan Davin padanya. Tidak akan pernah berpikiran untuk membalas perbuatan Diwa padanya. Serius, melihat Diwa yang marah, ia jadi takut. Rasa bersalah lagi-lagi menelusup dari balik celah-celah, menghujamnya sedikit demi sedikit.

Ia takut. Takut akan kejadian perihal yang sama. Kemarahan, rasa bersalah, menarik diri, menjauh, memutuskan kontak, lalu menjadi asing. Ia tidak ingin hal itu terjadi. Sungguh, sangat menakutkan. Apalagi setelah menelaah penyebab dari peristiwa itu. Penyebab yang tampak sederhana, namun, mungkin menjadi luar biasa bagi orang-orang tertentu. Tidak sesederhana orang-orang beranggapan dari salah satu sudut pandang.

Tangannya ditarik, memaksa dirinya untuk berbalik. Senyuman lebar tersungging ketika sepasang matanya melihat Diwa di hadapannya. Tidak ada yang lebih menyenangkan dibanding melihat Diwa menghampirinya, seperti yang lalu-lalu.

"Bego," kata Diwa menoyor kepalanya dengan telunjuk.

"Diwa! Kepala itu difitrah tau!" Hilang sudah senyum di wajah Sheina, diganti wajah cemberut karena Diwa sangat tidak sopan.

"Nggak usah minta maaf. Lo nggak salah apa-apa. Jadi, jangan ngejer-ngejer gue." Diwa berkata santai. "Gue mau nemuin komplotan Riko di belakang sekolah." Bukan sekolah namanya kalau tidak memiliki murid yang selalu membuat masalah, biang onar, dan mempunyai segudang reputasi buruk. Nah, Riko ini adalah salah satunya. Bagaimana pula Sheina tidak kenal, Riko ini ketua dari geng biang masalah. Makanya, namanya sudah terkenal seantero sekolah. "Udah 'kan? Udah gue jawab pertanyaan lo?"

"Lo nggak niat adu jotos lagi 'kan?" Kekesalan Sheina akibat toyoran Diwa raib, digantikan dengan rasa waspada.

"Enggak, tenang aja. Kita cuma pengen ngelepas rindu doang kok," jawab Diwa asal.

Sheina memutar bola matanya. "Pokoknya gue nggak mau denger kabar kalo lo terlibat adu jotos lagi," ucapnya kemudian penuh ancam. "Kalo sampe terjadi, gue yang bakal marah sama lo."

"Gaya lo, sok bisa marah aja," sahut Diwa malas, lantas berbalik, meninggalkan Sheina yang cemberut menatap cowok pongah itu. Benar-benar menyebalkan.

"Gue serius, Diwa! Liat aja kalo sampe terjadi!" balasnya marah. Tapi, itu tidak bertahan lama. Sebab, beberapa menit kemudian, Diwa berbalik sambil menjulur lidahnya, lantas tersenyum dan kembali berjalan santai. Melihat itu, kontan membuat Sheina tersenyum. Ternyata, tidak terlalu merumitkan. Semudah itu Diwa kembali padanya. Tidak lagi marah apalagi mengabaikannya. Ketakutan yang tadi menyerangnya pun kini hilang, berganti menjadi rasa lega.

The Boy Next DoorWhere stories live. Discover now