Part 1

33.9K 839 25
                                    


Bulan Juli tahun 2000, selepas Asar.
Sudah sekian lama setelah tamat SMP dan kini aku baru selesai kuliah, tak kudengar kabar Roma, sohib kentalku kecil dulu.

Kebetulan sore itu aku baru gajian pertama dari kerjaan pertamaku usai selesai kuliah, tiba-tiba teringat padanya sepulang ambil gaji. Pengen traktir Roma makan mie ayam.

Gimana kabarnya dia sekarang ya, batinku.

Simpang jalan arah rumahku, masuk Gang Bersama, bisa kudapati rumahnya. Agak jauh ke dalam memang. Pelan kulaju motorku sembari mengingat-ingat yang mana rumahnya, ternyata telah banyak yang berubah.

Menjelang maghrib, aku menghentikan motorku di depan teras rumah Roma. Walau agak bingung karena tak lagi kudapati pohon mangga yang dulu selalu kami panjati di sisi kanan rumahnya.

Hari hampir gelap, kebetulan rumah Roma terbuka pintu teras depannya.

Akupun dengan percaya diri mengeraskan suaraku mengucap salam memanggil-manggilnya. Tak ada yang keluar dari dalam.
Setelah agak lama kuperhatikan beberapa orang yang lewat depan rumah Roma tak wajar melihatku.

Dua orang ibu-ibu malah seperti sengaja mondar mandir memperhatikanku. Roman wajah mereka seperti salah tingkah menurutku. Kulempar senyum, tapi mereka diam. Matanya ingin menyampaikan sesuatu tapi urung.

Ah ... ntahlah, pikirku.

Hampir aku membalik badan pulang karena kupikir gak ada orang di rumah Roma yang gelap dan terbuka itu, tapi tiba-tiba muncul ibu Roma dari dalam.

"Siapa?"

"Uli Buk. Ibuk ingat saya nggak?" jawabku manja.

"Oooh Uli teman Roma ...."

"Iya Buk." jawabku sembari melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah Roma sebelum dipersilahkannya. Ah, Buk Siti kan dulu baik banget padaku.

Aku duduk di kursi ruang tamu, sepi. Sepertinya Ibu Siti, ibunya Roma ini sendirian di rumah.

"Roma mana Buk?"
Diam Buk Siti duduk di sampingku seperti tercenung.

"Roma kan di Pekan Baru. Dia sudah nikah, tinggal di sana."

"Loh ... kapan nikahnya kok gak ngundang-ngundang. Isss Ibuk laa" sambungku terkejut bercampur heran kenapa Buk Siti yang kukenal aktifis kampung penggerak ibu-ibu sekelurahan sejak kami kecil ini berubah kayak orang linglung.

Mengawang setelah ditanya kabar Roma, Buk Siti sepertinya tak mengurus tubuhnya lagi seperti dulu yang selalu rapi, cantik, dan cerdas.

Kupikir ibu ini agak kucel dan bau.

Sembari bicara pelan-pelan tatapannya jauh.
Sesekali senggolanku yang manja membuatnya tersentak.

"Ibuk kenapa rumahnya gelap-gelapan? Udah mau maghrib, Rangga mana Buk?"

Aku teringat Roma punya adik bernama Rangga.

"Dia juga udah nikah, tinggalnya jauh."

"Ooh ... Bapak mana Buk?"

Diam, senyap. Ibu Siti ini lama kelamaan menakutkan, pikirku. Rambutnya awut-awutan lagi. Padahal yang kuingat, dulu ibu ini sudah pakai tutup kepala.

Mataku beralih dari bu Siti ke arah luar di mana ia menerawang jauh.

Dua orang ibu-ibu tetangga yang tadi kulihat, lewat lagi. Seperti memberi isyarat agar aku keluar. Aku bingung. Kembali kuperhatikan Buk Siti, tak dilihatnya tetangga di depan pagar.

Matanya menerawang jauh.

Menembus mereka berdua.

"Buk...Buk." Kusentuh pundaknya sedikit kugoyang.

#1 : Misteri Maghrib Where stories live. Discover now