Chapter 21 * PART 1

608 66 2
                                        

Kim Jungah menarik selimutnya hingga sampai ke atas dadanya. Gadis berwajah cantik itu terlihat lebih pucat daripada biasanya. Kekakuan dari ekspresi wajahnya hari ini melentur hanya dikarenakan kejadian yang baru saja ia lihat dengan kedua matanya sendiri. Syok, marah, kecewa, dan sakit hati, semuanya bercampur menjadi satu di dalam dirinya hingga ia merasakan kumpulan perasaan itu membuatnya sesak.

Mengingatnya sekali saja lagi sanggup membuat airmatanya turun dari persembunyian. Kim Jungah yang selama ini selalu dikagumi akan keteguhannya, ketegarannya menghadapi kenyataaan, ternyata bisa jatuh bertubi-tubi hanya karena sebuah permasalahan. Cinta.

Kim Jungah sudah kehilangan harapan. Seseorang yang amat ia cintai takkan memberikannya harapan apabila sedari awal ia tidak akan menaruh perhatian pada perempuan—apalagi dirinya.

Menyerah? Entahlah. Seumur hidupnya, Kim Jungah tidak pernah menginginkan kekalahan dalam hidupnya, apapun itu. Sejak kecil, ia sudah diajarkan untuk tidak kalah dalam permasalahan. Selesaikan dalam cepat dan menangkan. Namun, sayangnya. Untuk dalam permasalahan ini, Kim Jungah sudah kalah telak—hampir tidak bisa bangkit dari tempatnya.

Jungah semakin menaikkan selimutnya hingga menutupi seluruh tubuhnya. Ia kembali menyembunyikan kelemahannya di balik selimut itu. Biarkan ia meratapi nasibnya untuk sementara. Untuk ke depannya... entahlah. Ia belum siap menyerahkan Jinki pada siapapun.


Xxxxxx


Jinki tahu ketika kedua tangan Ibunya mengepal, itu artinya beliau sudah sangat geram padanya. Namun, emosi itu terus beliau tahan. Ia hanya bisa memandang putranya dengan kecewa. Anak satu-satunya baru saja menghancurkan kepercayaannya.

Benarkah hanya dengan membelokkan takdirnya yang tadinya harus mencintai seorang wanita tetapi malah mencintai seorang lelaki—membuat Ibunya begitu kecewa padanya? Apa yang beliau kecewakan pada Jinki? Karena ia nantinya tak mempunyai keturunan? Atau dosa lain yang membuatnya terlihat mengecewakan di hadapan ibunya?

Tetapi, satu hal yang patut Jinki syukuri, sang ibu sama sekali tidak memberikan tatapan yang selama ini Jinki takutkan ketika orang-orang mulai mengetahui rahasia terbesarnya. Tatapan jijik. Sama sekali tidak ada di mata ibunya. Jinki semakin bersalah karenanya.

Apa ia harus menyerahkan seluruhnya hanya agar tidak membuat ibunya bersedih seperti ini lagi? Namun, itu artinya ia harus menyerah terhadap Kibum dan menjadi pengecut lagi—pengecut yang tidak bisa menepati janjinya. Dan Kibum, akan mencapnya sebagai penyebar janji palsu.

Pilihan mana pun yang harus ia pilih, tidak banyak yang memberikan sisi positif. Lebih banyak ke sisi negatifnya.

Jinki duduk tepat di depan ibunya. Mata beliau dipenuhi kesedihan. Beliau baru saja kehilangan orang yang ia cintai, kemudian ditambah masalah Jinki yang membelok dari takdirnya. Istilahnya seperti sudah terjatuh, tertimpa tangga pula.

Jinki menghela nafas sambil mengulurkan tangannya untuk menggapai tangan sang ibunda. Beliau tidak protes ketika Jinki menggenggam tangannya dengan penuh kasih sayang.

"Yang Mulia—" Jinki menghentikan kata-katanya. Di saat seperti ini, sepertinya ia harus menjatuhkan keformalannya. "Ibu, apa yang harus kulakukan agar tidak membuat Ibu sedih lagi? Maafkan aku yang telah mengecewakanmu, Ibu..."

Ratu Jimin kembali meneteskan airmatanya. Ia juga tidak tega apabila ia harus menyalahkan anaknya. Ia mengerti apabila Jinki memilih jalan seperti itu, tetapi ia hanya tidak bisa lepas dari syok dan kecewanya. Ia hanya terpaksa mengubur keinginannya untuk melihat lelaki satu-satunya menikah dengan seorang perempuan cantik, berotak cerdas, mempunyai jiwa pemimpin bagi negara ini, dan tentu saja mencintai anak lelakinya itu lebih daripada dirinya.

THE SELECTION - OnKey Vers.Where stories live. Discover now