Epilog

1.5K 99 15
                                    

Tepat tiga jam setelah penyerahan takhta oleh istana, Lee Jinki yang kini resmi mendapatkan gelar sebagai Pangeran Kedua, bersiap-siap menuju limusinnya bersama Kibum, kekasihnya yang masih setia menemani lelaki itu sampai upacara selesai.

Setelah mahkotanya diserahkan kepada Pangeran Choi Minho, Jinki merasa lega keseluruhan. Kibum tidak mendapatkan raut kekecewaan ketika memandang kekasihnya, Jinki justru tersenyum penuh lega dan bahagia. Bagaikan seorang tahanan yang baru saja dibebaskan setelah bertahun-tahun dipenjara.


"Kita akan kemana?" Tanya Kibum pelan sambil mengimbangi langkah Jinki yang nampak tergesa-gesa keluar dari gerbang istana.

"Ke suatu tempat," jawabnya singkat. Jinki tidak dapat menyembunyikan rasa kegembiraannya, senyum lebar itu belum juga luntur dari wajahnya.

Kibum justru meresponnya dengan desisan. Meskipun begitu, ia merasa kebahagiaan Jinki itu juga menular padanya—yah meskipun dibilang juga ia sempat ragu dengan keputusan Jinki untuk keluar dari istana, bahkan setelah lelaki itu menyerahkan mahkotanya pada Minho. Namun nyatanya, kekhawatirannya itu hanya sia-sia. Semuanya terlihat baik-baik saja, bahkan Jinki-nya sendiri.

Memasuki limusin, Kibum menempati tempat duduk di samping Jinki. Jinki sekarang bersenandung kecil. Suara Jinki memang bagus—sangat bagus malah, sayangnya lagu yang ia senandungkan itu lagu kuno alias lagu tradisional yang biasa dimainkan pemain musik tradisional di kerajaan. Sekretaris Kim yang membawa limusin itu terkekeh kecil mendengarnya, sesekali beliau mengikuti nyanyian kecil Jinki itu.


Kibum memutuskan untuk tidak bertanya apa-apa pada Jinki, tentang tempat yang dirahasiakan Jinki ini. Ia juga menyukai suasana seperti ini, mungkin saja Jinki ingin memberikan kejutan padanya sebagai rasa terima kasih telah menemaninya selama ini.

Tanpa Kibum sadari, sepanjang perjalanan pikirannya dipenuhi dengan mengkhayal tempat yang akan ditunjukkan Jinki padanya. Beberapa kali Kibum harus mengulum senyumnya, karena ia tidak mau dicurigai oleh Sekretaris Kim. Namun nyatanya, Sekretaris Kim masih ikut bernyanyi-nyanyi kecil bersama kekasihnya.

Sampai ketika jalanan di luar jendela mulai menampakkan suasana luar kota yang jauh dari pemukiman. Hanya sesekali rumah penduduk kasta empat atau lima terlihat. Jinki dan Sekretaris Kim sudah berhenti bersenandung entah sejak kapan. Suasana sepi pun menyelimuti limusin itu.

Limusin terus berjalan hingga Kibum sadari, ia cukup familiar dengan jalanan di sekitarnya itu. Daun-daun kering ginko yang sudah sepenuhnya jatuh dari dahannya, hembusan udara musim gugur di luar sana terasa menggigit. Limusin terus membawanya menuju sebuah gedung kecil yang bertuliskan "Pemakaman Massal Peristiwa Pemberontakan ke 40". Kibum pun tersentak.

Kibum ingin bertanya kepada Jinki mengapa lelaki itu membawanya ke tempat seperti itu—bukan, tempat itu lebih tepatnya adalah tempat di mana ayah dan ibunya dikubur.


"Jinki, kenapa—"

"Duluan," Jinki memotong pertanyaan tepat ketika mereka sudah turun dari limusin. Sekretaris Kim membungkuk kecil padanya, Kibum pun membalas.

"Kau pasti tahu jalannya, kan? Duluan, aku akan di sini sebentar. Apa kau ingin Sekretaris Kim ikut bersamamu?" kata Jinki lagi.

Kibum terdiam sebentar. Matanya menjelajahi setiap sudut mata Jinki, mencoba memahami maksud dari lelaki itu. Namun, tak satupun jawaban yang ia temukan. Ini sebuah kejutan yang jauh dari perkiraannya.

"Tidak, aku bisa sendiri," kata Kibum yang masih belum melepaskan pandangannya dari Jinki. Ia tidak bergerak selama beberapa saat, mengharap Jinki mengatakan sesuatu. Namun, lelaki bermata sipit itu hanya bersandar di limusinnya sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

THE SELECTION - OnKey Vers.Onde histórias criam vida. Descubra agora