9

36.3K 1.6K 163
                                    

"Hm, dasar bodoh," kataku sambil tersenyum kepadanya. Kulihat Erza tercengang menatapku, ia terlihat lucu sekarang. "Hei, kenapa wajahmu seperti itu?!"

Seketika ia mengalihkan pandangannya pada kakiku dan kembali memijatnya.

"Ti-tidak." Ia menggeleng pelan.

"Apa kau terpesona padaku?" godaku.

"Sombongnya," gumamnya kemudian melirikku sambil tersenyum hangat. Kurasa ia sudah tidak terlalu kaku lagi padaku. Biarlah seperti ini, setidaknya aku tidak harus menambah dosa. "Pastamu rasanya enak, mengingatkanku pada nenek dulu." Aku mulai membuka obrolan.

"Terima kasih, ibuku yang mengajariku membuat pasta saat sekolah menengah. Ah, itu adalah satu-satunya kenangan yang paling indah bersama ibu."

"Memangnya kenapa dengan ibumu?"

"Ibuku meninggal saat aku kelas dua belas, dia wanita karier yang gila kerja seperti ayahku dan satu-satunya kenangan manisku bersamanya hanyalah sebuah obrolan singkat saat di dapur dengannya," jelasnya sedih.

"Lalu, bagaimana dengan cinta pertamamu? Apa kau punya?"

"Tentu saja ada," jawabnya.

"Memangnya siapa pria tidak beruntung yang dicintai oleh perempuan sepertimu?" ejekku dengan wajah datar.

Dia menatapku, tatapannya sulit kuartikan. Sesaat kemudian, aku mulai menyadari maksud pandangannya.

"Apa ... itu a-aku?" Kulihat ia tersenyum kikuk, kemudian mengangguk. "Oh, betapa sialnya diriku harus dicintai perempuan sepertimu."

"Maaf."

"Sudah kubil—"

"Aku tidak bisa tidak mengatakan maaf padamu, ketika kau membuatku merasa bersalah. Kau tahu apa yang selalu kupikirkan? Seandainya ada cara untuk menghapus segala perasaanku padamu sudah dari dulu kulakukan. Aku tak perlu terus terluka, 'kan? Aku tak perlu selalu merasa bersalah," ucapnya pelan dengan tubuh yang bergetar, seolah-olah sedang menahan tangis.

"Benarkah kau mencintaiku?" tanyaku sambil menyeringai.

"Tentu saja," jawabnya sambil terlihat menahan air mata.

"Aku berbuat kasar saja kau masih sangat mencintaiku, apalagi jika aku memperlakukanmu seperti Agnes."

"Kau benar, aku memang bukan Agnes yang sempurna di matamu. Aku bahkan terlampau jauh untuk bisa dikatakan layak sepertinya, tapi apa pernah kau tahu aku bisa mencintaimu sebesar kau mencintai Agnes? Aku bisa mencintaimu sekalipun kau melukaiku dengan sikap dan kalimat dinginmu terus menerus. Apa Agnes bisa?"

Aku terdiam mendengar setiap kata yang keluar dari mulutnya. Aku sedikit terusik saat ia berkata, 'Apa Agnes bisa?'

Itu benar, apa Agnes bisa? Aku sadar istriku pandai memojokkanku hanya dengan kata-kata. "Ternyata, kau lumayan cerewet juga, ya, kalau soal cinta."

"Tentu saja, aku baru satu kali merasakan yang namanya jatuh cinta dan kuakui cinta pertamaku benar-benar sulit untuk diperjuangkan."

"Kau lelah mencintaiku? Kalau begitu, berhenti saja. Dengan begitu, kita bisa senang."

"Aku akan belajar berhenti karena mencintaimu itu membutuhkan asupan kalori dan tenaga ekstra. Tapi, dari situ aku belajar bahwa aku memang harus berjuang untuk bisa memperoleh hal yang begitu berharga dan berpengaruh dalam hidupku."

Aku hanya bungkam mendengarkannya. Sejenak aku berpikir, selama ini aku begitu tega melukainya. Ia adalah perempuan ceria dan baru kusadari aku telah banyak mengubahnya. Baru kali ini aku melihat dirinya yang sebenarnya.

The Broken Lady [Completed]Where stories live. Discover now