11

35K 1.5K 193
                                    

Banner menepati janjinya pada Erza. Hari ini, tepatnya Minggu, ia akan ke gereja bersama wanita itu.

Banner merapikan letak jam tangan sambil menuruni tangga. Fokusnya hilang begitu melihat sesosok wanita anggun yang sedang berkutat di ruang makan, menyiapkan sarapan. Ia terpesona. Banner tak bisa menyangkal, istrinya hari ini terlihat sangat cantik.

"Erza." Kalimat itu terlontar tanpa komando. Banner benar-benar mengutuk mulutnya saat ini. Ia berharap sang istri tak mendengar panggilannya.

"Ya?" Erza memutar badan, menghadap ke arah Banner. Ia menahan napas melihat suaminya yang terlihat lebih tampan dari bisanya. Namun, sedetik kemudian, ia berusaha sebisa mungkin untuk mengendalikan tingkahnya.

"Ak-aku ingin minum teh hijau, sekarang!" Kini Banner mengutuk seluruh tubuhnya. Ia heran mengapa mendadak dirinya menjadi gugup seperti sekarang hanya karena melihat Erza yang lebih cantik dari biasanya.

Erza tersenyum hangat, lalu mengangguk pelan. Siapa yang tahu respons Erza membuat Banner ingin berguling-guling pada anak tangga yang sedang dipijaknya hingga berakhir dengan geger otak, kemudian koma, dan perlahan mati.

Oke, mungkin itu terlalu dramatis, tapi dalam hati yang terdalam, Banner mengakui kecantikan istrinya. Untuk kali ini, ia takut terperangkap di dalam pesona wanita itu hingga berujung menyimpan rasa. Ia lebih memilih mati daripada harus merasakan jatuh hati pada Erza.

Ia menguatkan hati bahwa hanya ada satu orang yang sepenuhnya menguasai hatinya; Agnes. Hanya Agnes! Banner terus membuat dirinya yakin bahwa hanya mencintai Agnes. Sekalipun istrinya terlihat lebih menawan, Banner akan bertahan pada Agnes.

"Tunggulah di meja makan," kata Erza masih dengan sudut bibir yang tertarik ke atas.

Banner mengumpat berkali-kali dalam hati karena jantungnya memompa begitu cepat hanya karena senyuman Erza.

"Mengapa aku mendadak konyol begini? Shit!" umpatnya dengan suara lirih, kemudian berjalan menuju meja makan. Ia terus memperhatikan punggung dan rambut Erza.

Saat Erza meletakkan teh di depannya, mata mereka bertemu dan Erza tersenyum lagi. "Masih panas."

"Mengapa wanita ini selalu tersenyum?" rutuk Banner dalam benak.

"Senyumanmu membuatku mual. Hentikan itu!" ucapnya berdusta. Ia yakin Erza pasti tidak akan tersenyum lagi.

"Oke, aku tidak akan tersenyum," kata Erza sambil duduk di seberang Banner. "Tapi, tidak ada larangan untuk tertawa, bukan?" lanjutnya dan langsung mendapat tatapan tajam dari suaminya. Namun, ia hanya menjulurkan lidah, meledek.

"Sejak kapan wanita ini berani menjulurkan lidah padaku?" Banner meminum teh dengan hati kacau, ia heran dengan tingkah Erza yang terlihat lebih berani.

"Shit! Ini panas sekali," umpatnya di dalam hati begitu merasakan panas membakar lidah. Wajah tampannya langsung memerah.

Erza terkikik geli memandangi Banner yang tampak kesal. "Dasar bodoh, apa yang lucu?"

"Tadi aku sudah bilang, 'kan, tidak ada larangan untuk tertawa? Hihihihi."

"Diam! Tuhan akan mengutukmu," kata Banner masih dengan wajah kesal menahan malu.

"Hahahaha. Mengapa Tuhan ingin mengutukku? Aku hamba yang berbakti, aku selalu rutin beribadah, tidak seperti—" Erza juga heran kenapa ia suka mengejek suaminya. Entahlah, semua terjadi secara alami. Ah, mungkin karena ia menangkap basah Banner yang menatapnya seperti orang terpesona, jadi ia lebih percaya diri.

"Kau tahu, menertawai suami itu merupakan dosa.! Apalagi, ini tidak lucu. Shit lidahku!" Banner menjulurkan lidah, mengipas-ngipasinya dengan tangan. "Tuhan tidak akan mengampunimu."

The Broken Lady [Completed]Where stories live. Discover now