14

28.7K 1.4K 237
                                    

Erza bangun dengan keadaan acak-acakan, rambut kusut, mata bengkak, dan ada jejak-jejak air mata yang mengering di pipi. Semalaman ia hanya menangis tanpa ada yang tahu.

Ia kembali meraba perut dengan lembut, mencoba menyapa kehidupan yang ada di dalam sana. "Kau baik-baik saja, Sayang?"

Pilu. Itulah yang dirasakan Erza. Hatinya pilu dan nyeri mengingat malam tadi. Ia kembali hancur saat melihat suaminya menatap Agnes penuh cinta.

Erza menapakkan kaki pada lantai marmer yang terasa dingin, lalu berjalan menuju meja rias untuk merapikan rambut dan mengikatnya dengan rapi.

Setelah itu, ia berjalan menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar dan membersihkan wajahnya. Saat keluar dari kamar mandi, langkahnya terhenti ketika melihat piano yang diberikan Banner beberapa bulan yang lalu.

Semenjak hari itu, ia bisa merasakan kembali segenggam bahagia. Namun, ia kembali ragu semenjak malam tadi, ragu bahwa rasa senang itu akan terus berlanjut saat kekasih sang suami berada satu atap dengannya.

Erza mengembuskan napas berat seraya mengusap perutnya. "Mungkin kita memerlukan lagu yang ceria. Iya, 'kan, Sayang?" ujarnya pada bayi yang ada dalam perut.

Erza mendekati piano itu, lalu menjatuhkan bokongnya pada kursi putih yang senada dengan pianonya. Ia mulai menekan tuts-tuts piano.

"In a perfect storybook, the world is brave and good,
A hero takes your hand, a sweet love will follow.
But life's a different game, the sorrow and the pain. Only you can change your world tomorrow. Let your smile light up the sky. Keep your spirit soaring high. Trust in your heart and your sun shines forever and ever. Hold fast to kindness, your light shines forever and ever. I believe in you and me
We are strong.

"Wah, merdu sekali!"

Erza terlonjak mendengar suara itu. Cepat-cepat, kepalanya menoleh ke sumber suara, didapatinya Banner tengah tersenyum hangat. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari mendapatkan senyum suaminya ketika pagi.

"Hai, apa aku membuatmu terkejut?" tanya lelaki itu.

"Sedikit," jawab Erza.

Banner berjalan ke arah Erza tanpa melepaskan tatapanya dari wajah wanita itu.

Erza menjadi sedikit gugup karena tatapan suaminya.

"Bisakah jangan menatapku seperti itu? Kau membuatku merinding."

Banner mengerutkan kening, lalu sedetik kemudian tersenyum kembali. "Kau pikir aku hantu apa?" Kini, ia sudah duduk di samping Erza. "Siapa yang mengajarimu bernyayi dan bermain piano seindah ini?"

"Kakekku. Dia seorang pianis saat muda dulu."

"Lalu, nenekmu?"

"Hmm ... dia seorang pelukis."

"Apa kau juga bisa melukisku?"

Banner tidak tahu saja jika Erza sering melukis wajahnya diam-diam.

"Tentu," jawab Erza singakat.

"Menyenangkan bisa bersamamu, Erza," ucap Banner pelan terdengar seperti berbisik.

"Menyenangkan juga bisa bersamamu, Banner."

"Apa kau sedih? Maafkan aku, Erza, tapi aku benar-benar tidak merencakan semua ini. Aku tidak tahu kalau semuanya akan jadi seperti ini. Aku benar-benar tidak bermaksud membuatmu sedih sampai kita bercerai nanti. Maafkan aku, aku sudah melanggar janji pada diriku sendiri karena telah mengecewakanmu."

The Broken Lady [Completed]Where stories live. Discover now