10

36K 1.6K 265
                                    

Erza mengelus rambut tebal Banner sembari mengamati wajah sang suami yang terlihat damai. Sesekali, ia menyentuh ujung bulu mata lelaki itu. Entah mengapa, ia merasa senang, meski hanya menyentuh bulu mata Banner.

"Kau membuatku terbangun."

Erza tersentak mendengar gumaman Banner. Seharusnya, ia tidak menyentuh bulu mata itu. "Maaf, aku tidak akan mengganggumu lagi."

"Kau hanya harus pergi dan menghilang dari pandanganku jika kau ingin berhenti menggangguku," ucap Banner ketus.

"Iya, aku akan melakukannya setelah melahirkan. Bersabarlah."

"Hm, kupegang kata-katamu. Aku akan menghancurkan hidupmu jika masih melihat wajahmu nantinya."

Erza tak menjawab. Ia hanya membisu, takut mengeluarkan suara karena takut terisak. Ia tidak ingin Banner memandangnya sebagai wanita lemah.

"Kenapa diam? Kau tidak terima?"

"Tidak. Aku akan memastikan tidak akan muncul di hadapanmu nantinya. Lagi pula, aku akan bahagia dengan anakku. Jadi, untuk apa berurusan dengan masa lalu, 'kan?" Erza mengeluarkan suaranya dengan susah payah sambil menahan isakan yang sudah sampai ujung teggorokan. Dadanya terasa sesak mengatakan hal itu.

Namun, tak urung air matanya keluar juga setelah mati-matian dibendung. Ia memalingkan wajah agar air matanya tidak mengenai Banner. Tangannya masih setia memijat kepala lelaki itu.

Banner memutar kepala Erza agar wanita itu menatapnya.

Mereka berpandangan beberapa detik, lalu sedetik kemudian Erza menahan napas ketika Banner menghapus air mata yang membasahi wajahnya.

"Berhentilah mengeluarkan air mata ini. Kau membuatku merasa seperti pendosa. Jika kau ingin menangis, menangis saja, tapi jangan di depanku seperti sekarang. Kau membuatku semakin membencimu karena membuatku merasa bersalah."

Hati Erza terasa sakit dan sekali lagi, ia berusaha menahaan air mata. Ia memalingkan wajah, memutus pandangannya dari tatapan tajam Banner.

"Kalau begitu, bisakah kau bersikap baik padaku sekalipun itu hanya pura-pura? Karena tidak ada wanita yang bisa menahan air mata saat disakiti."

Dengan napas tertahan, Erza mengumpulkan keberaniannya untuk membalas kalimat Banner. Berhadapan dengan Banner membuat Erza berdebar-debar. Hal itu membuatnya mengutuk diri sendiri karena jatuh cinta pada pria yang terang-terangan membencinya.

Banner terdiam, kehabisan kata-kata.

"Ayahmu hanya membenci Maika, dia tidak membencimu," ucap Erza di dalam hati sembari mengusap perutnya. Saat ini, ia sudah tidak memijat kepala Banner.

"Kau tunggu dulu sebentar, aku akan ke dapur untuk memasak," ucapnya tiba-tiba. Ia sudah cukup berperang dengan batin dan tidak mau terlalu stres, mengingat ada anak dalam kandungannya. Perlahan, ia mengangkat kepala Banner dari pahanya.

Banner masih termenung, memikirkan kata-kata Erza sebelumnya. Bahkan, hingga malam tiba, ia masih merasakan ada sesuatu yang mengganjal di hati. Ia berusaha menepiskan rasa bersalah dan berbagai pikiran yang membuatnya merasa seperti tersangka atas penderitaan Erza.

"Dia pantas menerimanya." Kalimat itu terus diulang-ulang Banner dalam pikirannya, mencoba membuat pembelaan agar hatinya terasa sedikit lebih baik.

***

Pagi-pagi, Erza sudah sibuk di dapur. Ia bahkan belum sempat memasuki kamarnya untuk melihat kondisi Banner sekarang. Semanjak kalimat terakhir yang ia katakan pada Banner, lelaki itu terlihat semakin dingin.

Erza sudah siap dengan nampan berisi makanan untuk diberikan kepada Banner. Sebelum membuka pintu kamar, ia mengembuskan napas berat. Setelah siap, ia membuka pintu satu daun di depannya itu.

Banner menoleh pada daun pintu dan melihat Erza membawa nampan berisi makanan.

"Hai, bagaimana tidurmu?" tanya Erza seramah mungkin.

Reaksi Erza yang terdengar ceria tanpa ada beban membuat Banner merasa lega karena semenjak perkataan Erza malam kemarin yang seolah-olah memojokkannya, ia merasa wanita itu menjadi dingin. Banner tidak suka itu.

"Cukup nyaman. Kemarilah, aku sudah lapar."

"Tunggu sebentar. Oh, ya, mau kutambahkan tomat juga?" tawar Erza sambil menunggu jawaban Banner. "

Tidak usah, tambahkan saja mayones."

"Oke, ini." Erza menyerahkan piring berisi sandwich. "Makanlah. Panggil aku jika butuh sesuatu. aku akan bersih-bersih dulu di ruang tamu." Ia ingin beranjak. Namun, Banner menahan pergelangan tangannya.

"Te-terima kasih sudah merawatku," kata Banner kaku.

Erza menatapnya dengan tatapan sayu. "Itu kewajibanku. Tidak perlu berterima kasih."

"Mintalah sesuatu, aku akan mengabulkannya, tapi ada beberapa pengecualian, kau mengerti, 'kan, maksudku?"

Mendengar itu, Erza langsung tersenyum semringah. Tak membuang kesempatan, ia pun mengajukan permintaan. "Apa kau mau pergi bersamaku untuk berdoa di gereja pusat kota?"

"Kenapa tidak di gereja biasanya?"

"Hanya ingin saja. Dulu aku selalu ke sana bersama ayah dan ibu."

"Baiklah kita akan ke sana hari Minggu."

Erza tersenyum lebar, terlihat sekali kalau ia sedang bahagia. Selama menikah, ia tak pernah berdoa ke gereja bersama Banner.

"Lagi pula, aku sudah lama tidak ke sana. Terakhir ke sana sekitar umur tiga belas tahun saat nenekku meninggal," jelas Banner, kemudian melahap sandwich buatan Erza.

"Ayah ibumu di mana?" tanya Erza, kemudian duduk di sisi ranjang.

"Mereka meninggal saat umurku tujuh tahun. Mereka mengalami kecelakaan di pesawat."

"Aku turut berduka." Erza memandang suaminya dengan prihatin. Tidakkah suaminya itu bernasib malang, sama seperti dirinya?

"Hm."

Setelah Banner selesai makan, Erza bangkit untuk mencuci piring di dapur.

Tepat saat ia ingin keluar kamar, Banner berkata, "Apa kau akan benar-benar melupakanku jika kita berpisah nanti?"

"Entahlah. Kenapa kau menanyakannya?" tanya Erza membalikkan badan.

"Aku hanya ingin menanyakannya saja. Siapa tahu, begitu berpisah kau masih mengusik hidupku dengan mengatasnamakan cinta," ucap Banner dengan nada menyindir.

"Aku tidak akan melakukannya, sekalipun masih mencintaimu. Aku sudah berjanji. Ayah mengajariku betapa pentingnya sebuah janji untuk ditepati. Bukankah sudah kukatakan sebelumnya, aku akan bahagia bersama anakku? Jadi, aku tidak perlu bertahan pada masa lalu."

"Kau menyindirku sampai-sampai membawa nama ayahmu, heh? Kalimatmu seperti tidak pernah ingkar janji saja, tidak salah aku membencimu begitu dalam," ujar Banner ketus. Ia kesal karena Erza merusak suasana yang sudah tenang sebelumnya.

"Maaf, aku tidak ingat memiliki pengalaman mengingkari sebuah janji, tapi nanti aku pasti akan melakukan hal itu. Sembilan bulan ke depan, aku akan menerima sebuah dosa karena mengingkari janjiku pada Tuhan, aku akan bercerai denganmu, meniggalkan semua janji-janji yang kuucap saat di altar dulu. Jika saja ... jika saja aku tidak mengandung, aku tidak akan mampu melihat masa depan yang baik, tapi karena aku akan menjadi seorang ibu sekaligus ayah untuk anakku nanti, demi Tuhan itu terasa luar biasa," jelas Erza, lalu melangkah ke luar dan menghilang dari pandangan Banner.

Untuk kesekian kalinya, Banner merasa terpojok karena ulahnya sendiri.

"Kau ... benar-benar berhasil membuatku merasa seperti pendosa."

The Broken Lady [Completed]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum