12

31.7K 1.4K 136
                                    

Erza ternganga. Apa dirinya tak salah dengar?

Banner saat ini berdiri di depannya dengan wajah kaku.

"Banner, apa kau sedang malu-malu?" goda Nenek Min.

Banner menggeleng cepat. "Tidak! Is-istriku memang cantik," ucapnya terbata-bata.

"Wait, dari mana Nenek ini tahu namaku?" batin lelaki itu bertanya-tanya.

"Erza sering cerita tentang Banner, suaminya yang tampan. Kalian memang cocok jika bersama," ucap nenek Min, seolah membaca pikiran Banner.

"Benarkah? Memangnya istriku ini cerita apa tentangku, Nek?" Banner menatap Erza dengan tatapan menggoda.

"A ... dia bilang kalau sua—" Kalimat Nenek Min terpotong karena Erza menarik tangannya, seolah-olah memberi isyarat agar Nenek Min tidak menceritakan apa pun.

"Nek, jangan. Aku malu." ucap Erza sambil menunduk dengan wajah memerah.

"Dia bilang kau hebat di atas ranjang, hahaha!"

Seketika tawa memenuhi ruangan itu, sedangkan Erza hanya tertawa hambar dengan wajah memerah, kemudian menggeleng ke arah Banner.

Banner berjalan mendekati sang istri, kemudian sedikit membungkuk di depan Erza agar bisa melihat wajah wanita itu. "Kau malu?" godanya.

Erza akan menutupi wajahnya, tetapi Banner menahan tangan wanita itu dengan cepat. Erza mengangkat wajah, menatap Banner dengan gugup.

Banner berusaha menahan napas ketika jantungnya berdetak tak keruan. Entah apa yang terjadi. Ia tak pernah merasakan jantungnya berdegup cepat ketika Erza menatapnya.

"Banner?"

Lelaki jangkung itu terkesiap kala Erza memanggil namanya. Ia baru sadar jika sang istri hampir tak pernah memanggil namanya. Terakhir kali, Erza menyebut nama Banner saat berada di atas altar dua tahun lalu.

Banner tersenyum tulus. Tampaknya, ia mulai membuka hati dan berusaha mengakhiri rasa benci terhadap sang istri yang tak beralasan.

"Iya, Erza?"

"Ki-kita pulang sekarang, ya?" Erza semakin gugup setelah melihat senyum sang suami yang tampak menawan.

Banner mengangguk. Senyumnya tak memudar sedikit pun. "Kau bisa berpamitan dengan mereka dulu."

"I-iya."

***

Setelah berpamitan dengan orang-orang di panti jompo, Banner pun melajukan mobilnya keluar dari perkarangan.

"Kita mau ke mana?" tanya Erza ketika menyadari Banner mengemudikan mobil ke arah lain.

"Restoran," jawab Banner singkat.

"Kenapa tidak langung ke rumah saja? Aku bisa membuatkanmu pasta."

"Tidak perlu. Aku ingin makan steak."

"Tapi, aku bisa membuatkannya untukmu. Kita punya bahan-bahan yang cukup untuk membuatnya."

"Kenapa kau begitu ingin pulang? Kita akan tetap makan di restoran. Tidak ada bantahan."

"Baik, tapi bisakah kau mengemudikan mobil ini lebih cepat sedikit? Kau tak pernah mengemudikan mobil selamban ini."

"Supaya aman, ibu hamil tidak boleh merasakan guncangan saat berkendara."

Seketika, hati Erza dilingkupi rasa hangat. Kini, ia tak yakin bisa menghilangkan rasa cintanya pada Banner jika lelaki itu mulai peduli padanya.

Dua puluh menit kemudian, mereka sampai di restoran. Sepasang suami-istri itu duduk di lantai dua restoran yang berhadapan langsung dengan gedung-gedung pencakar langit Los Angeles.

The Broken Lady [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang