Barata Saputra Birawa

37K 3.6K 233
                                    


Aku berhenti tepat di depan pintu masuk sebuah klab malam daerah Jakarta Pusat, menunggu teman Bara yang akan menjemputku untuk masuk ke dalam karena penjaga di depan pintu masuk gedung sama sekali tidak mengijinkanku masuk. Katanya tidak sembarang orang boleh masuk. Hanya yang punya member card saja yang bisa.

Selang beberapa detik, Arga—dengan sepuntung rokok di tangannya, dan Rio—dengan satu botol bintang di tangannya keluar, berjalan ke arahku. Lebih tepatnya mengawalku setelah mengkonfirmasi pada penjaga di depan bahwa aku bersama mereka berdua.

"Ijinin nih cewek masuk," kata Arga setelah menghisap puntungnya, "Ini ceweknya Barata."

Dalam sekejap, kedua ekspresi penjaga terlihat kaget dan ketakutan. Aku sudah sering melihat ekspresi seperti ini pada orang-orang begitu mendengar bahwa aku adalah pacar Bara. Bagi mereka, this is such a big deal.

Sejujurnya, aku sama sekali tidak merasa senang atau pun bangga. Aku tidak suka dipandang seperti itu seakan-akan keberadaanku adalah hal besar dan aku harus dihormat—hanya karena Bara adalah pacarku. Pacar yang tidak pernah kuinginkan.

Mereka mengangguk, "Silahkan. Maaf, Mas. Kalau aja mbak­nya tadi kasih tahu kami kalau—"

"Kasih tahu kalian atau enggak menurut gue kalian tetep nggak akan ngijinin ini cewek masuk kan, sampai ngelihat Barata dengan mata kepala lo sendiri?" desis Arga yang membuat kedua lelaki bertubuh kekar itu bungkam.

"Besok-besok langsung ijinin ini cewek masuk aja," Rio mendekat dan berbisik di antara kedua penjaga, "Itu pun kalau lo nggak mau bikin Bara marah sama kalian berdua. Paham?"

"Baik, Mas Rio."

Aku kaget saat mereka tahu nama Rio. Memang mereka sudah sering kesini?

Dengan sigap, kedua penjaga langsung membuka jalan untukku. Aku mendapati eskrpresi kaku dan ngeri mereka sebelum masuk ke dalam. Sepertinya nama Bara punya arti penting di tempat ini. Aku tidak heran, karena ini bukan pertama kalinya seseorang ketakutan begitu mendengar nama Bara seakan nama lelaki itu punya efek khusus bagi mereka.

Aku mengikuti Rio yang ada di depan sedangkan Arga berada di belakangku, mengawalku, seakan melindungiku. Lorongnya gelap, pengap, bau asap rokok menyengat, dan perlahan suara hentakan dan dentuman musik mulai terdengar.

"Kalian udah sering ke sini?" tanyaku hati-hati. Bicara dengan mereka masih hal yang canggung untukku—mengingat reputasi mereka selama ini di mata orang-orang.

"Nggak. Baru beberapa bulan," kata Arga dari belakang, "Lo cewek pertama yang dibawa Bara ke sini."

"Dan hebatnya Bara sendiri yang nyuruh kita berdua langsung jemput lo," ujar Rio, tangannya sibuk menyalakan pemantik.

"Oh, ya?" aku bingung harus menjawab apa.

Sebenarnya ini juga yang pertama kali aku datang ke tempat begini. Aku bukan tipe perempuan yang suka menghabiskan malam minggu di klab malam. Karena Bara yang menyuruhku, aku sama sekali tidak punya pilihan. Mana berani aku membantah perintahnya. Teman-temannya saja sebisa mungkin tidak pernah membuat laki-laki itu marah, begitu pula denganku.

"Tuan Puteri harus dikawal sampai selamat dong," kata Rio, tapi nadanya menyindir, "Gue salut sama lo, Nad. Lo cewek Bara pertama yang bisa sampe bikin kita jemput lo. Lo ngomong apa emangnya ke Bara?"

Aku mengernyit tidak paham. "Gue nggak ngomong apa-apa."

"Serius?" Rio menoleh ke arahku pelan seraya tersenyum miring, tidak percaya. Aku memang tidak pernah bicara apa-apa ke Bara. Bersama mereka teman-temannya saja membuatku cemas.

DANGEROUS BOYFRIEND✔Where stories live. Discover now