Real Fighter

34.4K 3.4K 389
                                    

Gawat.

Aku mempercepat langkahku setelah turun dari grab yang kupesan. Susah payah aku berlari sambil terengah-engah. Aku mengecek jam tanganku lagi, untuk yang kesekian kalinya. Aku sudah terlambat setengah jam dari jam yang ditentukan Bara untuk datang ke basecamp-nya malam ini.

Tiap malam minggu, aku selalu pergi dengannya, dan dia yang selalu menjemputku. Tapi karena kebetulan malam ini dia tidak bisayang katanya ada masalah serius yang harus dia bereskan terlebih dahulu dengan gengnya sekarangaku terpaksa harus berangkat sendiri kesini.

Di depan gedung basecamp sudah ada Brian dengan sepuntung rokok di tangannya, sedang menyenderkan punggungnya, menungguku. Badannya langsung berdiri tegap begitu menyadari keberadaanku.

"Tuan Puteri udah dateng rupanya," sindir Brian begitu aku tiba di hadapannya, masih mengatur napasku yang terengah-engah karena sedari tadi aku lari sekuat tenaga.

"Gue bukan Tuan Puteri," kataku yang entah sudah keberapa kalinya. 

"Lo telat setengah jam," kata Brian setelah melihat jam tangannya, "Udah ditungguin Bara dari tadi."

Aku tahu, dan sekarang aku sedang berusaha untuk menenangkan diriku untuk siap menerima konsekuensi dari keterlambatanku. Ini bukan yang pertama kali. Dulu saat awal-awal berpacaran dengannya, aku pernah membuatnya marah hanya karena aku terlambat datang lima menit!

Dan baginya it was such a big deal mengingat salah satu prinsip Bara adalah kalau lo nggak bisa on time, sama aja lo nggak menghargai keberadaan gue. Bara tahu saja, mana bisa aku menghargai keberadaannya kalau setiap berhadapan dengan dia harapanku satu-satunya agar aku bisa lenyap saat itu juga.

Saat itu, dia langsung mengeluarkan jurus andalannyatatapan super tajam dan kebisuannya yang membuatku langsung gelisah, menanti apa yang akan dia lakukan. Ujungnya, malam itu dia mengemudikan mobil dengan kecepatan penuh. Saat aku lihat speedometer, sudah hampir mencapai 180km/jam!

"Bara..." lirihku kalut, tanganku sudah mencengkeram erat handle grip mobil, "Pelan-pelan aja... Jangan ngebut-ngebut..."

Tatapan Bara masih ke depan, rautnya tenang, tapi aku bisa melihat genggaman tangannya pada kemudi yang mengerat, "Kalau ada yang telat, harus ngebut. Iya, kan?"

Aku yang sudah berpikir akan mati saat itu juga baru bisa bernapas lega setelah Bara menghentikan mobilnya di tengah jalan sebelum mobil masuk ke gerbang masuk jalan tol. Saat aku menoleh, tatapan Bara sudah terarah kepadaku, tatapan peringatan mengerikan yang membuat sekujur tubuhku lemas seketika.

"Bara..."

"Kamu tahu apa kesalahan kamu?" tanyanya, nadanya rendah dan pelan, tapi ada maksud berbahaya.

Aku mengangguk cepat, "Maafin aku, Bar. A-aku nggak bakal telat lagi kayak tadi."

"Janji?" nadanya yang terdengar menuntut memaksaku mengangguk lagi, menyetujui apa pun yang dia inginkan.

"Iya, aku janji. Jangan... ngebut lagi, ya?"

Bara saat itu yang sepertinya puas dengan jawabanku hanya mengangguk tanpa ekspresi, melanjutkan kembali mengemudi dengan kecepatan normal. Aku langsung menghela napas lega. Semenjak itu, aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak terlambat jika dia menyuruhku menemuinya, atau pun untuk tidak membuatnya marah.

Aku tidak berani membayangkan perbuatannya lebih dari ini. Karena itu, selama ini aku selalu menuruti semua perkataannya. Seperti yang selalu ia bilang, be a good girl, Nadia, aku berusaha jadi pacar yang baik dan menyenangkan hatinya, paling tidak di hadapannya.

DANGEROUS BOYFRIEND✔Where stories live. Discover now