Obedient

34.6K 3.4K 242
                                    

"Nad, kayaknya temen-temennya Barata lagi berantem deh di lapangan."

Mika menghampiri mejaku dan langsung memberitahu informasi ini. Saat aku menoleh sekitar, seisi kelas sudah menatapku seakan membenarkan perkataan Mika. Tapi sayang mereka terlalu enggan bicara denganku.

Sebelum berpacaran dengan Bara, aku dekat sekali dengan Mika. Kemana-mana kami selalu berdua. Dulu kami juga sering nongkrong dan jalan-jalan bersama.Tapi setelah tahu aku mulai berpacaran dengan Bara tiga bulan yang lalu, Mika langsung menjaga jarak. Pun dengan teman-teman sekelas mau pun yang kukenal.

Teman-teman yang sering ngobrol dan main bersamaku perlahan menjauh. Lama-lama, tidak ada yang berani bicara padaku. Keadaan berubah total. Tiap aku lewat, mereka menghindar, atau bahkan sampai menunduk hormat. Setiap aku masuk kelas, kondisi kelas yang semula gaduh langsung sunyi senyap. Semua mata memperhatikanku. Begitu juga dengan Mika yang hanya berani melirikku.

Alasannya satu. Bara.

Mereka terlalu takut. Pasalnya jika mereka terlalu dekat denganku bisa saja membawa masalah pada mereka. Apalagi, Bara tidak terlalu suka jika aku terlalu dekat dengan mereka. Dia bahkan menyeleksi mana orang yang berhak atau pantas untuk dijadikan teman! Aku yang lemah dan tidak berdaya tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti perkataannya.

Beberapa hari yang lalu, aku yang sudah tidak tahan tidak punya teman untuk bicara-Bara menganggap aku hanya boleh bicara saja dengannya dan teman-temannya-memberanikan untuk mengungkapkan keluh kesahku. Butuh beberapa hari aku mengumpulkan keberanianku.

"Bara." panggilku. Saat itu kami sedang di mobil. Tiap pulang sekolah, dia selalu mengantarku ke rumah.

"Hm?"

"Aku boleh ngomong sesuatu, nggak?"

Dia menoleh sebentar. Ekspresinya datar. "Ngomong aja."

Aku diam-diam menghela napas, menenangkan diri. Aturan pertama, tatap matanya. Aturan kedua, kata-kataku harus manis, menyenangkan hatinya dulu. Aku pokoknya tidak boleh membuat dia marah jika tidak mau pulang kebut-kebutan. Bara kalau sedang ngebut bisa sampai di atas 120 km/jam. Gila, kan?

"Emm-Bar, aku ngerti maksud kamu baik kenapa kamu ngelarang aku temenan sama temen-temen aku yang dulu. Kamu pilihin mana temen yang baik buat aku. Iya, kan?"

Aku diam sebentar untuk memastikan reaksinya. Tidak ada perubahan ekspresi, aku memutuskan untuk melanjutkan.

"Kamu... masih inget Mika? Temen deket aku dulu yang sekelas, punya poni, rambutnya panjang. Tingginya sama kayak aku."

Dulu, aku masih sempat dekat dengan Mika selang beberapa hari aku berpacaran dengan Bara. Tapi karena sikap Bara dan tatapannya yang seakan tidak suka dengan keberadaan Mika di sampingku, sejak itu Mika tidak pernah menemuiku lagi. Kami bagai orang tidak kenal. Aku paham sih, kalau jadi dia. Tapi jujur rasanya sedih kehilangan sahabat hanya karena laki-laki egois macam Bara yang selalu mengaturku!

"Kenapa?" tanyanya.

"Aku boleh temenan sama dia lagi?"

Dia diam sebentar. Sedangkan aku menanti dengan harap-harap cemas. Dia melirik ke arahku, "Harus dia?"

Harus dia katanya? Iya, harus!

"Bar, temanku cuma dia. Aku nggak punya teman dekat lain selain dia."

"Nadia," nadanya yang tiba-tiba lebih rendah seketika membuatku waspada, "Memang kamu anggap apa Rio, Brian, Cakra, Arga?"

Aku menganga. Bara serius? Yang seperti mereka disebut teman-temanku? Perlu dicatat, aku sama sekali tidak akrab dengan mereka. Jangankan bicara, menatap mata keempat temannya saja kadang membuatku ketakutan.

DANGEROUS BOYFRIEND✔Where stories live. Discover now