First Meeting With Barata

31.2K 3.3K 276
                                    

Aku masih ingat betul. Kejadiannya sekitar satu tahun yang lalu, saat pertama kali aku bertemu dia.

Saat itu, aku baru pindah ke Jakarta setelah mengetahui bisnis Papa yang hampir diambang kebangkrutan, mengharuskannya untuk tetap tinggal di Singapura, sampai urusan Papa selesai, dan hutang-hutang yang dimilikinya lunas.

Sejak umur sepuluh tahun, setelah kematian Mama, aku pindah ke Bandung, setelah sebelumnya sejak lahir aku tinggal di Jakarta. Sekarang, karena masalah Papa, rumah di Bandung—yang lebih besar dari rumah lama di Jakarta—harus dijual, mengharuskanku untuk kembali ke sini, tinggal sendirian di rumah ini.

Seminggu setelah keberangkatan Papa ke Singapura, aku jatuh sakit, sampai harus di opname. Dokter mengatakan bahwa aku terkena typus. Tante Feby, adik satu-satunya Papa yang merawatku selama aku di rumah sakit.

"Maaf ya tante, kalau Nadia ngerepotin tante." ujarku sambil tersenyum miris. Infus sudah terpasang di tangan kiriku. Sepanjang hari aku cuma bisa berbaring di atas ranjang rumah sakit.

"Nggak ngerepotin sama sekali, Nadia. Papamu kan lagi jauh, kalau bukan tante memang siapa lagi yang rawat kamu?" Bisa kurasakan Tante Feby tersenyum tulus ke arahku.

Setahuku, Tante Feby sudah bercerai dengan suaminya sekitar lima tahun yang lalu. Beliau punya satu anak laki-laki. Setelah bercerai, hak asuh putranya jatuh di tangan suaminya. Dari kabar yang kudengar, mereka sekarang tinggal di Surabaya.

Beliau sebenarnya sudah sering menawariku untuk tinggal bersamanya. Tapi aku menolak. Selain karena tidak ingin merepotkan, aku lebih suka tinggal di rumah lama yang di Jakarta, karena berisi kenangan-kenangan lamaku dengan Mama.

"Makasih ya, Tante."

Selama dirawat, Tante Feby selalu menjengukku tiap pulang kerja. Lalu beliau akan pulang sebelum pukul delapan malam. Saat itu, adalah hari ketiga aku dirawat di rumah sakit, saat dimana pertama kali aku bertemu dengan dia.

Bertemu dengan Barata.

Malam itu, sudah pukul sepuluh malam, saat tiba-tiba aku terjaga dari tidurku. Aku juga tidak tahu kenapa. Hanya saja aku merasa tidak nyaman. Berkali-kali kucoba memejamkan mata, tapi kantuk rasanya sudah menguap entah kemana. Kuputuskan untuk keluar dari kamar rawat inap, berjalan-jalan sebentar menyusuri koridor rumah sakit yang sudah sepi, sambil menggeret tiang infus di tangan.

Sampai tiba-tiba, mataku menangkap sesosok laki-laki yang tergopoh kesakitan dengan darah mengucur di perut bagian kanannya. Aku menutup mulutku yang hampir berteriak histeris, karena laki-laki itu sepertinya sudah tidak tahan menahan sakit di perutnya. Susah payah aku berlari sambil menggeret tiang infusku menujunya.

"Ya ampun! Kamu berdarah! Kamu kenapa?!"

Aku panik, karena lelaki itu sudah jatuh tersimpuh dengan wajah pucat luar biasa. Erangan kesakitan keluar dari mulutnya. Aku mengedarkan pandanganku. Sepi, tidak ada siapa-siapa.

"Kamu nggak papa?" tanyaku lagi, badanku menunduk, "Biar saya bantu ber—"

Tanganku terulur, hendak membantunya berdiri. Namun buru-buru itu terjadi, aku kaget saat lelaki itu menepis tanganku, lalu menjauhkan tubuhnya dariku, seakan tak membiarkanku menyentuhnya. Tatapannya berubah tajam. Aku bergeming karena baru pertama kali ditatap seperti itu. Jenis tatapan yang dapat membuat siapa pun langsung bergidik ketakutan.

Tapi aku tak peduli. Keselamatan orang yang bahkan tak kukenal di depanku ini lebih penting ketimbang ketakutanku.

"Kamu tenang dan tunggu di sini dulu, biar saya cariin dokter, ya. Jangan kemana-mana!" seruku panik seraya berlari mengelilingi koridor rumah sakit, meninggalkannya yang masih mengerang kesakitan.

DANGEROUS BOYFRIEND✔Where stories live. Discover now