Chapter 38

24.7K 1.5K 45
                                    






Satu Bulan berlalu.

Rasanya ikut merasa bahagia, ketika melihat anak-anak kecil yang menderita penyakit cukup mematikan namun mereka masih bisa tegar dan tersenyum menerimanya, lalu mereka menjalankan hari-harinya seperti biasa.

Saat ini, Adila tengah berdiri dengan tatapan mata tidak pernah lepas dari kumpulan anak kecil yang tengah bermain ditaman, yang ada di Rumah Sakit dimana ia bekerja. Mereka bukan anak kecil biasa, tapi mereka adalah seorang pasien kecil yang memiliki jiwa luar biasa, menurutnya.

Melihat senyum kecil mereka, membuat Adila bisa sedikit melupakan kejadian dimana ia pernah mengatakan dengan jujur bahwa ia mencintai Azzam. Kejadian yang sangat memalukan selama hidupnya, menurut Adila. Karena itu, tidak seharusnya ia lakukan pada seorang laki-laki yang telah beristri, apalagi suami dari adik sahabatnya sendiri. Sahabat yang bahkan pernah menitipkan sang adik sebelum ajal menjemputnya, kepadanya.

Malu, dan penyesalan setelah kata--cinta terucap dari mulutnya untuk Azzam, membuat ia mengambil sebuah keputusan yang sampai saat ini masih ia ragukan keteguhan hatinya. Namun, meski begitu ia menyadari satu hal yang sangat berarti untuk hatinya. Yaitu--bahwa cinta tidak bisa dipaksakan, mau seberapa keras kita meminta, tapi jika dia bukan jodoh yang digariskan Allah untuk kita, sampai matipun tidak akan pernah bisa bersatu.

"Minum." ucap sebuah suara dari arah samping Adila, dengan sebotol air mineral yang disodorkan. "Jangan melamun terus, yang sudah berlalu biarkanlah terjadi. Sekarang yang seharusnya kamu lakukan adalah menyiapkan masa depanmu, denganku." Lanjutnya.

Adila menatap botol air mineral tersebut lalu mengambilnya dan tersenyum. "Terima kasih."

Adila membuka tutup botol air mineral tersebut lalu menenggak habis isinya. "Nggak kok, aku gak lagi melamun. Cuma lagi liatin anak-anak aja, yang sangat ceria meskipun mereka lagi sakit. Hmmm, andai waktu bisa ku ulangi, aku tidak ingin menjadi dewas. Menjadi dewasa itu rumit, apalagi kalau sudah berhubungan dengan yang namanya cinta."

Fathan tersenyum. Ya, dia adalah Fathan calon suami Adila yang sebulan lalu setelah kejadian itu, Adila meminta Fathan untuk segera menikahinya. "Tidak akan rumit kalau kita bisa ikhlas menerima takdir cinta yang telah Allah gariskan untuk kita."

Adila diam ketika mendengar apa yang dikatakan Fathan. Ia menutup kembali botol air mineral yang ia pegang lalu kembali memberikanya pada Fathan. Adila memutarkan tubuhnya menghadap Fathan, lalu kedua lengannya ia masukan pada saku jas dokternya.

"Aku ingin bicara serius sama kamu." ucap Adila.

"Ya, kamu mau bicara apa? Katakanlah. Atau kamu butuh tempat yang lebih tenang untuk bicara?" ucap Fathan hati-hati.

Bola mata hitam legam itupun mengedar keseluruh penjuru yang ada didekatnya. "Tidak perlu, disini saja."

"Oh, yasudah. Apa yang ingin kau katakan?"

Adila menatap Fathan dalam, seolah ia sangat merasa bersalah pada laki-laki yang sebulan kedepan akan menjadi suaminya.

Sejujurnya dalam lubuk hati terdalamnya, Adila sangat merasa malu pada Fathan karena meskipun Fathan tahu bahwa Adila mencintai Azzam. Dengan rela ia menunggu hatinya terbuka untuk menerima hati baru, siapa lagi kalau bukan dirinya. Tidak, Fathan pantas mendapatkan perempuan yang lebih baik darinya dan Fathan pantas mendapatkan perempuan yang tulus mencintainya. Tidak seperti Adila, yang bisa mencintainya hanya karena hatinya telah dicampakan oleh laki-laki lain, pikir Adila yang selama sebulan ini selalu menghantuinya.

"Ak- aku," ucap Adila yang tiba-tiba tergagap karena gugup.

"Kenapa?"

"Ak-" kembali Adila membuka suara, namun kegugupan masih menyelimutinya.

Tangisan Hujanku Where stories live. Discover now