chapter 6

639 40 3
                                    


Bahagia bukan datang dari orang lain, tapi dari diri sendiri. Swara tahu itu. Dua minggu hampir berlalu. Dan besok tepatnya dua minggu setelah kedatangan mertuanya tempo lalu. Swara berada dalam dilema sekarang. Apa yang harus ia lakukan? Apa keputusan yang tepat jika ia pergi dari sisi Sanskar? Dan jawabannya terjawab oleh pergerakkan janin di perutnya. Makhluk kecil di perutnya seolah paham jika ibunya akan menjauhkannya dari sang ayah. Swara tersenyum miris. Memandangi taman bunga di taman rumah mereka sudah menjadi rutinitas wanita itu dua minggu belakangan ini.

"Momy harus apa, Sayang?" Swara bertanya pada jabang bayinya. Mengusap perut buncitnya sendiri.

Getaran dari ponsel di sampingnya mengalihkan atensi wanita itu. Swara menekan menu kotak masuk di ponselnya. Satu pesan dari nomor asing.
'Sudah menentukan keputusan? Besok saya tunggu!' pesan aneh dari nomor asing itu Swara tahu dari mertuanya.

"Huh. Kenapa Momy benci sekali denganku?" Swara bertanya pada diri sendiri. Mengingat-ngingat kesalahan apa yang telah ia lakukan pada mertuanya. Tidak. Swara tidak pernah punya kesalahan pada mertuanya itu tapi, satu hal yang membuat Momy Siren tidak pernah suka padanya sejak pertama bertemu ... derajat. Ya, Swara tahu itu. Wanita glamor seperti mertuanya itu selalu mengutamakan derajat. Sentuhan lembut di bahunya menyadarkan Swara dari lamunannya. Pria yang dicintainya itu mengecup keningnya singkat setelah mendudukkan dirinya di samping Swara.

"Aku perhatikan akhir-akhir ini kamu sering melamun. Apa yang sedang kamu pikirkan?" Sanskar membawa wanitanya itu ke dalam dekapannya. Swara hanya menggeleng sebagai jawaban.

"Jangan terlalu banyak berpikir, nanti stres."

"Dipikiran aku cuma kamu, Honey," ucap Swara, mengerling nakal ke arah Sanskar.

"Mulutnya sekarang sudah pintar, ya," ujar Sanskar gemas. Mencium bibir cheri wanitanya itu. Direspon baik oleh Swara dengan mengalungkan lengannya ke leher Sanskar.

Swara sudah terjaga dari tidurnya. Jam masih menunjukkan pukul 05.45 tapi, wanita itu sudah bangun dan sedang berdiri di balkon kamar mereka. Ia sedang menikmati angin pagi dan menanti mentari terbit. Hari ini ia akan menentukan keputusan. Keputusan yang akan menentukan kehidupannya dan anaknya kelak ke depan. Ia tahu, jika ia sudah melangkah keluar dari rumah ini, berarti ia sudah dengan sengaja meminta perceraian. Dan Sanskar, ia tahu pria itu pasti tidak akan menjemputnya untuk kembali lagi ke rumah ini. Karena pria itu sudah mengingatkan Swara sebelum mereka berkomitmen. Oh God! Apa mungkin sampai di sini saja cerita mereka?

Pelukan hangat di pinggang Swara membuatnya semakin sakit. Wanita itu berusaha menahan agar tidak menangis. Merasakan pelukan itu untuk terakhir kalinya.

"I love you, sweetheart!" Kecupan Sanskar di pundak wanita itu membuat Swara memejamkan matanya. Menahan nyeri di hati dan air mata yang siap meluncur.

'Aku mohon maafkan aku, Sanskar. Jangan pernah membenciku.'

"I love you too!"

Ini pagi terakhir untuk Swara. Jadi, ia membiarkan saja Sanskar terus memeluknya seperti ini. Jika saja mertuanya tidak mengancamnya, Swara pasti akan terus berada di samping Sanskar meski ia harus selalu menerima makian dan hujatan dari mertuanya, ia masih bisa bertahan. Namun, jika sudah menyangkut orang yang ia sayangi, Swara tidak akan tega mengorbankan keselamatan mereka.

Swara memang sudah berhenti bekerja semenjak Sanskar tahu jika istrinya hamil. Dan sekarang Swara sendirian di kamarnya 10 menit setelah Sanskar berangkat ke kantor. Satu notifikasi pesan masuk ke ponsel wanita itu.

'Sudah menentukan jawaban? Jangan coba-coba bermain denganku!'

setelah membaca pesan itu, Swara menuliskan balasan. Wanita itu menghela napas kasar. Meletakkan secarik kertas yang tadi ia tulis ke atas meja rias. Matanya menyusuri seisi kamar. Berhenti pada sebuah bingkai foto besar yang tergantung di dinding. Sebuah foto pernikahannya bersama Sanskar. Senyum merekah kedua orang di foto itu membuat pertahanan wanita itu lepas. Bening air mata itu meluncur deras diiringi isakannya.

"Maaf ... maafkan aku, Sanskar!"

Senyum puas terkembang di bibir berpoles lipstik wanita setengah baya itu. Ia menatap penuh kemenangan pada wanita muda yang baru saja masuk ke dalam taksi itu. Di dalam mobilnya, wanita setengah baya itu masih menatap ke arah taksi yang sudah berjalan. Terdapat kebencian dan amarah dalam pancaran matanya. Entah apa yang dipikirkannya.

"Kamu tidak akan pernah pantas hidup bersama Sanskar!"

***

Sudah beberapa kali Sanskar mendiall nomor Swara tapi, nomor istrinya itu selalu sibuk. Akhirnya Sanskar menyerah, setelah hampir sepuluh kali panggilan darinya tidak diangkat oleh Swara.

Swara hanya berharap pada takdir. Takdir yang menentukan kehidupan cintanya dengan Sanskar. Jika takdir tidak mempersatukannya lagi dengan Sanskar, mungkin ia harus mencoba menerima dan melepaskan.

Tbc....

Story Our Love [End √] (SUDAH TERBIT DI GOOGLE PLAY STORE) Where stories live. Discover now