Berawal dari 15

94 4 1
                                    

Kalau saja, aku tahu seberapa pentingnya itu, aku tak akan bermain-main pada hal yang tak semestinya.

×××

Aku terduduk diam, menatap kosong hamparan kolam di hadapanku. Mencelupkan kaki, hingga rasa dingin menyapu kulit.

Berpikir akan apa yang telah aku lakukan di masalalu. Andai saja, aku sedikit lebih cepat pintar, bahwa seberapa berharganya itu. Maka tak akan aku usik sedikitpun.

Aku ingin menyalahkan seseorang, tapi tak satupun bisa ku salahkan, selain diriku. Jika saja aku sedikit lebih cepat berpikir, aku tidak akan terbuai dengan ajakan itu.

Aku sadar, hidup memang terus berjalan. Setiap orang, melangkah maju. Tanpa berbalik memandang masalalu, tapi bagiku, detik ini, untuk tetap hidup di masa kini dan depan, membutuhkan kilasan masalalu.

Ya, bisa dikatakan, hidupku terjebak di masa lalu. Terperangkap dalam tempurung penyesalan. Kebodohan itu menjadi momok memalukan bagiku. Menghantui setiap langkah, yang kian kemari semakin berat.

Aku dan masalaluku adalah satu, namun tak saling mengerti.

"Ga kuliah?"

Aku mendongak, melirik lelaki yang kini menyelupkan kakinya ke kolam. Duduk bersebelahan. Aku menggeleng, menatap matanya yang lembut dan hangat.

"Kenapa?" tanyanya lembut.

Hening. Aku tetap menutup mulut rapat-rapat. Tak pernah ada niat untukku membalas setiap pertanyaannya.

Bukan karena apa, hanya saja, setiap kali aku melihat, mendengar, atau apapun yang berhubungan dengannya, masalalu itu semakin menjadi menghantuiku. Menakutiku dengan apa yang kemungkinan-kemungkinan yang terjadi ke depannya. Tentang aku, tentang lelaki yang sudah sepuluh tahun aku mengenalinya.

Di satu sisi, waktu memang tak pernah adil. Sekalipun tak pernah melepaskan aku dari bagiannya di masalalu.

"Dia, kenapa? Sakit?" tanyanya seiring tangan hangat nun kokoh itu, menelungkup di pungung tanganku.

Aku melepaskannya detik itu juga. Dia menghela napas dan mengusap rambutku dengan senyumnya. Baginya, itu bukan kali pertama. Dan bagiku juga begitu, hanya saja, aku masih tidak terbiasa dengan penyesalan itu.

"Aku dua hari besok, akan ke Bandung. Kamu ke kampus sendirian, ga masalah?" tanyanya hati-hati.

Aku menggeleng, mendengus dalam hati. Sifatnya yang seperti itu, yang membuatku tidak menyukainya. Selalu beranggapan bahwa aku masih anak kecil.

"Aku suruh Rendi antar jemput kamu ya?" Dia kembali berujar.

Aku menatapnya tajam. Lelaki yang di sebutnya itu, pasti tengah sibuk berjualan gorengan tahu pedas, untuk membantu biaya kuliah semester akhir. Dan, Suga tak pernah sadar bahwa temannya itu bukan babu yang bisa dia suruh kapanpun dia mau.

"Stop, Suga. Aku bukan anak kecil yang harus di protektif-in lagi. Aku bisa ke kampus sendiri," ujarku penuh tekanan.

Dia menggeleng.

"Jangan keras kepala, Dia! Pokoknya aku mau kamu pergi bareng Rendi. Aku tidak mau kamu kenapa-napa." jelasnya.

Aku menghela napas. Keras kepalaku, tak sebanding dengan Suga Ardianto Fajar. Lelaki yang mengklaim aku sebagai wanita kecil yang harus di jaga ekstra.

"Aku tidak akan kenapa-napa, jadi berhenti menyuruh Rendi seenak kamu. Dia punya pekerjaan yang harus di kerjakan, bukan hanya sekadar menyuruh dia untuk menjadi supirku."

POTRETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang