16

42 4 4
                                    

Andai waktu dapat kembali terulang, aku tak akan melakukannya.

×××

Jakarta, sore ini hujan lebat. Membasahi bumi pertiwi yang penuh dengan sampah serta limbah pabrik yang merusak ekosistem air. Cih, aku tidak pernah menyukai para orang yang berjaya diatas ketidakberdayaan masyarakat di luar sana. Mengambil keuntungan dari penderitaan orang akibat yang dia timbulkan.

Belakangan ini, tak jarang aku mendengar berita akan limbah-limbah ilegal dari pabrik-pabrik, kebakaran hutan, longsor, tersumbatnya sungai karena tumpukan sampah dan berbagai berita yang memuakkan. Ouch, sadarlah dunia semakin tua dan kau hidup di akhir jaman. Masih mau membuang sampah sembarangan? Yang bisa mempercepat kerusakan bumi?
Apalagi hujan sering datang akhir-akhir ini.

Aku mendelik kala menoleh ke sebelah kanan, ketika melihat sepasang kekasih yang saling membagi kehangatan di bawah hujan lebat. Aku menggeser posisi ke sudut halte depan kampus.

Membiarkan mereka yang tengah beradu kasih, merasakan 'hidup di dunia terasa milik berdua'.

Huh!

"Ya ampun Bang Rendi?!" pekikku berdiri kala melihat Rendi berhenti tepat di depanku.

Dia tersenyum dan menghampiriku. Mengibaskan tangan pada jaket kulit hitamnya yang basah. Aku memperhatikannya dari bawah sampai ujung rambut yang basah. Lalu melirik ke langit yang menurunkan air bertubi-tubi menghantam tanah dengan deras.

Apa dia gila?

Atau ... lelaki yang menyuruhnya?

"Jangan bilang ulah Suga?!" tanyaku menodongnya yang telah menyematkan jaket yang dipakainya tadi ke tubuhku.

Dia terkekeh dan menjawil hidung pesek ku.

"Kita tunggu hujan reda ya, baru Bang Ren antar Di pulang," ujarnya mengambil duduk di sebelah tempatku tadi.

Aku memperhatikan gerakannya. Dengan rasa yang masih kesal, aku duduk di sebelahnya. Mendengkus, menyumpah serapah Suga yang mungkin saja berleha-leha di hotel atau mungkin tengah bergelut di rapat yang katanya selalu membosankan?

I don't care with him!!

Aku melirik Rendi yang menggosokkan tangannya kedinginan. Aku menghela napas. Rasa kesal dan bersalah menyelimuti hatiku.

Pelan, aku menggosok tangan lalu menempelkannya ke wajah lelaki di sebelahku. Membuatnya terdiam dengan tingkahku yang kali pertamanya seperti ini.

"Maafin Di ya, Bang. Kalau bukan karena Di, Bang Ren gak akan kedinginan gini," ujarku bersalah.

Tanpa sadar, terus melakukan apa yang sering Suga lakukan padaku. Kala hujan, ketika aku kedinginan. Rendi berdehem setelah membeku beberapa detik dan menurunkan tanganku yang baru saja menempel kembali di wajahnya.

"Bukan salah Di dan Bang Ren juga senang kok, bisa jagain Di," balasnya menghangatkan.

Mata itu ... selalu berhasil menggoyah hatiku.

Aku ikut berdehem dan membuang muka ke arah lain. Suasana canggung tiba-tiba bergelayut di sekitar.

Rendi tersenyum tipis lalu mengacak rambutku yang panjang.

POTRETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang