17

36 3 2
                                    

Aku hanya satu dari sekian banyak manusia di bumi ini. Satu dari mereka yang menyesali masalalu yang kelam. Andai, waktu bisa kembali. Tak akan aku lakukan itu. Sungguh.

×××

Aku menyembur napas di balik pintu kamar yang tertutup. Bayangan Suga, jelas terekam di benakku. Tatapan matanya yang menyelimuti hangat itu, memancarkan sendu.

Aku menggerakkan tangan ke dada. Mencoba merasakan getaran di sana, namun yang kucari tidaklah ada, selain rasa  penyesalan yang berlari hadir.

Bayangan masalalu itu, sungguh ingin kubunuh, tapi aku tak sanggup memusnahkannya. Aku tak tahu caranya bagaimana.

"Aku sungguh mencintaimu, Di. Tidak bisakah kamu melihat ketulusanku?"

Tidak.

Ini tidak boleh terjadi.

Sungguh.

Setetes airmata mengalir di wajahku. Aku membenci Suga kala dia mengungkapkan perasaannya. Kejadian tadi, bukan kali pertamanya, tapi sudah kesekian kalinya. Sejak aku berada di semester 2 di kampus yang sama.

Aku menggeleng, meremas rambut yang terurai sedikit bergelombang. Terduduk di lantai kamar. Membiarkan tas gendong ku tergeletak sembarangan.

"Ini salah, Suga, ini salah," racauku kala memori masalalu berlomba-lomba kepermukaan.

"Ini salah....," lirihku merebahkan diri di lantai yang terasa dingin.

Tuhan, bantu aku berubah. Tolong jangan buatkan dia hadir lagi di diriku yang terus-menerus merasa bersalah setelah itu. Tuhan, aku mohon. Biarkan aku merasakan bagaimana indahnya kehidupan masa ini tanpa dihantui masalalu itu.

×××

Aku keluar dari kamar mandi dengan tatapan kosong ke arah kaca besar yang tertempel menyatu di lemari. Menatap tubuhku yang dibalut sehelai handuk. Rambut yang di gulung asal itu meneteskan air.

Apa yang baru aku lakukan? Bagian dari masalalu itu, baru saja aku lakukan. Bukankah aku menyesal, tapi kenapa kembali aku lakukan?

Dan begitu terus.

Aku muak, entah yang...

Aku menangis tertunduk. Menyumpah serapah diriku sendiri. Aku membenci diriku yang seolah-olah tidak melakukan hal apapun.

Aku mendongak ketika mendengar ponsel berdering. Aku yakin, itu panggilan masuk dari Suga. Lelaki yang tidak akan pernah pergi dari hidupku, meskipun aku terus menolaknya.

Aku tahu, Suga berusaha tidak mengingat kejadian semalam. Di mana untuk kesekian kalinya aku melukai perasaannya.

"Ha-halo?" sapaku seraya menyapu airmata.

"Udah siap?" tanyanya di seberang sana.

Aku teridam. Melirik tubuhku yang masih di balut handuk. Bayangan yang telah aku lakukan tadi, teringat kembali.

Aku menahan sesak di hati. "Lo bisa ... pergi duluan?" tanyaku pelan.

"Kenapa, Di? Apa soal semalam? Anggap saja angin lalu. Pokoknya hari ini kamu pergi sama aku Di, jangan menghindar. Aku mohon."

Mungkin, jika itu cewek lain atau jika saja aku seperti cewek lain yang tidak dibaluti rasa bersalah, aku sudah bahagia di perhatikan seperti itu sama Suga. Seorang Suga yang tidak ditutupi lagi dari umum, hanya memperhatikan dan dekat sama satu gadis, ah ralat, perempuan dan itu aku.

POTRETWhere stories live. Discover now