18

46 4 1
                                    

Rasanya, aku menyesali apa yang telah aku lakukan. Membuatnya pergi, karena momok masalalu itu.

×××

Aku menghela napas untuk kesekian kalinya. Menatap ponsel yang tidak berbunyi dari tadi. Membisu merutuki apa yang aku lakukan semalam.

Memang, dulu, bahkan detik mendekati Suga pergi pun, aku masih menginginkan kepergiannya. Namun, aku sadar setelah semalaman tidak tidur, tapi malah menangis meratapi kebodohanku dua malam lalu. Membiarkan Suga pergi, bukan satu hal yang baik.

Aku ingin, dia kembali. Di sini, bersamaku. Meski dengan sifatnya yang tak ku inginkan itu.

Aku menghela napas. Hukumnya memang begitu, sadar bahwa orang itu berarti, ketika dia memilih untuk pergi. Pergi tanpa datang kembali. Bahkan yang berjanji tak akan pergi, nyatanya tetap pergi.

Alah, cabe oncom!

Gimana gak pergi, nyatanya lo sendiri yang nyuruh pergi.

Aku kembali menyembur napas, melirik ponsel yang masih tak menyala. Aku meraih dan menghidupkan layar lantas membuka sandi.

"Lo kenapa, Di? Kayak mayat ga di kasih makan aja. Padahal, bakso udah mengembang di depan lo." Tatya yang duduk di depan ku mengomel dengan menunjuk mangkok yang masih berisi penuh di hadapanku.

Aku meliriknya dan mengendik lesu lalu kembali pada benda yang tengah ku genggam.

"Si doi mana? Kok, dari kemarin ga nongol-nongol. Biasanya, udah stand by aja di sini." Tatya celingak-celinguk melirik seisi kantin.

Aku lagi, mengendik, setelah terdiam beberapa detik. Hatiku berdesir aneh, tak seperti biasanya.

Andai....

Aku menggeleng samar. Kata 'andai' tak pernah pupus setiap kali aku dalam penyesalan. Malah hal itu membuatku semakin buruk.

Aku membuka aplikasi pesan dan tak satu pun yang aku buka, selain kolom chatting bersama Suga. Membaca sisa-sisa pesan darinya, yang terkadang membuatku tersenyum kecil.

Ternyata, hal yang selama ini aku benci, kegaringan, serta gombalan receh Suga, kali ini satu hal yang aku rindukan.

Alay, memang. Baru dua hari, aku sudah seperti ini. Anggap saja begitu, aku merindukannya.

"Di, dia tuh." Tatya menendang tulang kering ku.

Aku mendongak, mengikuti arah pandang Tatya yang menatap ke belakang punggungku. Dadaku berdetak kencang, darah berdesir hebat. Menahan napas, ketika Suga terlihat berjalan ke arahku.

Aku harap-harap cemas menunggunya. Mencoba untuk berpikir jernih, apa nanti aku harus menyapanya seperti 'hai' atau 'Suga, udah makan?" atau bagai....

"Loh, kok dia lewat aja?" tanya Tatya mengerutkan kening.

Aku yang melihat itu, menyembur napas yang sedari tadi tertahan. Mataku memanas melihat Suga tak melirik ku sama sekali. Aku menunduk, mencoba menahan tangis yang hendak keluar.

Hatiku terasa sakit. Kecewa akan kenyataan yang terjadi.

"Lo ada masalah sama Suga?" tanya Tatya lagi.

Aku menggigit bibir dalam tundukan dengan jari-jari tangan saling bertautan. Bersama sesak dan airmata yang tak bisa di tahan, aku berdiri. Berlari meninggalkan kantin setelah menyambar asal tasku. Tidak mempedulikan pandangan masyarakat kantin, termasuk Tatya.

POTRETWhere stories live. Discover now